BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Gizi buruk adalah fenomena balita Indonesia yang tak terbantahkan.
Keberadaannya menampar keras setiap kali bangsa ini harus memperingati hari gizi
nasional
yang ditetapkan pemerintah setiap tanggal 25 Januari. Satu persatu balita penderita gizi buruk terkuak melalui media. Seperti yang
pernah penulis jumpai ketika di Makassar ada seorang
ibu
hamil dan bayinya yang meninggal dunia karena
kelaparan. Sering kali kelaparan inilah yang
menyebabkan gizi buruk.
Ternyata masalah
ini tidak hanya terjadi
di Makassar. Kasus gizi buruk juga
terjadi di NTT, Papua, bahkan Tasikmalaya. Menurut Kepala Pusat Ketersediaan dan
Kerawanan
Pangan Departemen Pertanian (Deptan)
RI Tjuk Eko Hari Basuki,
27 persen bayi di bawah
lima tahun
(balita) di Indonesia
mengalami gizi
buruk1. Kondisi ini tentunya sangat
memprihatinkan.
Adapun upaya untuk menanggulangi masalah ini sudah
sering
dilakukan oleh
pemerintah yaitu
melalui dinas
kesehatan
yang berkoordinasi dengan puskesmas atau rumah sakit setempat.
Sebagai generasi muda tentunya kita tidak ingin hal ini terjadi terus-menerus.
Oleh karena itu, penulis berusaha mencari tahu berbagai hal tentang gizi buruk di Indonesia sebagaimana apa
yang akan dibahas dalam makalah ini.
I.2
Rumusan
Masalah
Makalah ini berusaha mengetahui jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Apakah yang disebut dengan
gizi buruk?
2. Faktor-faktor apakah
yang menyebabkan gizi buruk?
3. Bagaimana persebaran gizi buruk di
Indonesia?
4. Bagaimana
masalah gizi
buruk
yang
berkaitan dengan aspek sosial
budaya?
5. Hal apa sajakah yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menanggulangi
kasus gizi buruk?
I.3 Tujuan
Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui apa
yang di maksud dengan gizi buruk
2. Mengetahui faktor–faktor yang menyebabkan gizi buruk
3. Mengetahui persebaran kasus gizi buruk di
Indonesia
4.
Mengetahui bagaimana masalah gizi buruk yang berkaitan dengan aspek sosial budaya
5. Mengetahui apa saja yang telah dilakukan
oleh pemerintah
Indonesia
untuk menanggulangi kasus gizi buruk.
I.4 Metode Penelitian
Untuk menjawab rumusan
masalah di atas diperlukan metode penelitian. Makalah ini disusun
dengan mencari data melalui wawancara dengan ahli kesehatan. Selain itu, data-data
juga didapatkan berita dan
laporan penelitian lain yang
ada di internet.
I.5 Kegunaan
Penelitian
1. Diri sendiri: untuk mengetahui berbagai
hal tentang gizi buruk.
2. Masyarakat: agar
masyarakat Indonesia pandai-pandai bersyukur dan bersabar.
3.
Negara: agar pemimpin kita mengetahui betapa susahnya rakyat
Indonesia mencari nafkah.
I.6 Sistematika
Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini
adalah bab satu berisi uraian rancangan
penelitian. Bab dua berisi uraian yang berusaha menjawab rumusan masalah yang telah tertera. Penutup yang
berisi simpulan dan saran, diuraikan di dalam bab tiga.
BAB II PEMBAHASAN
II.1 Pengertian Gizi Buruk
Berdasarkan pendapat salah seorang
dokter spesialis di Rumah Sakit
Pasar Rebo, dr. Subagyo, Sp.P., gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan
nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagimenjadi tiga
bagian, yakni gizi buruk
karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor),
karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus),
dan kekurangan kedua-duanya.
Gizi
buruk ini biasanya terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) dan
ditampakkan oleh membusungnya perut (busung lapar).
Gizi buruk dapat berpengaruh kepada pertumbuhan dan
perkembangan anak, juga kecerdasan anak. Pada tingkat
yang lebih parah, jika dikombinasikan dengan perawatan yang buruk,
sanitasi yang
buruk, dan munculnya penyakit lain, gizi buruk
dapat menyebabkan kematian.
II.2 Faktor-Faktor
Penyebab Gizi Buruk
Menurut dr. Subagyo, Sp.P., gizi buruk disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah faktor pengadaan
makanan yang kurang mencukupi suatu wilayah tertentu. Hal ini
bisa
jadi disebabkan oleh kurangnya potensi alam atau kesalahan distribusi. Faktor kedua,
adalah dari segi kesehatan sendiri, yakni adanya penyakit kronis
terutama gangguan
pada metabolisme atau penyerapan
makanan.
Selain itu, Menteri Kesehatan Indonesia, Dr. Siti Fadilah menyebutkan ada tiga hal yang saling kait
mengkait dalam hal
gizi buruk, yaitu kemiskinan, pendidikan rendah
dan kesempatan kerja rendah.
Ketiga hal itu mengakibatkan kurangnya
ketersediaan pangan di
rumah tangga dan pola asuh anak keliru. Hal
ini
mengakibatkan kurangnya
asupan gizi dan balita sering
terkena infeksi penyakit2.
UNICEF dalam Soekirman (2002) juga telah memperkenalkan dan sudah digunakan secara
internasional mengenai
berbagai faktor penyebab timbulnya gizi kurang
pada balita, yaitu :
1. Penyebab langsung
Yaitu makanan tidak seimbang untuk anak dan
penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Anak
yang
mendapat makanan
yang
cukup
tetapi
diserang
diare
atau infeksi, nafsu makan menurun, akhirnya dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya, anak yang
makan tidak cukup baik, daya
tahan tubuh melemah, mudah diserang infeksi. Kebersihan lingkungan, tersedianya air bersih, dan berperilaku hidup bersih dan sehat
akan menentukan tingginya kejadian penyakit infeksi.
2. Penyebab tidak langsung
Pertama, ketahanan pangan dalam keluarga adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan makan untuk seluruh anggota keluarga baik dalam jumlah maupun dalam
komposisi zat gizinya. Kedua, pola
pengasuhan anak, berupa perilaku ibu atau pengasuh
lain dalam hal memberikan makan, merawat, kebersihan memberi kasih sayang
dan sebagainya.
Kesemuanya berhubungan dengan kesehatan
ibu (fisik dan mental),
status gizi, pendidikan, pengetahuan,
pekerjaan, adat kebiasaan dan sebagainya dari
si ibu
dan pengasuh lainnya. Ketiga, faktor pelayanan kesehatan yang
baik, seperti; imunisasi, penimbangan anak, pendidikan dan kesehatan gizi, serta pelayanan posyandu, puskesmas,
praktik bidan, dokter dan
rumah sakit.
II.3 Persebaran
Gizi Buruk di Indonesia
Berdasarkan data dari
Departemen Kesehatan Indonesia, pada tahun 2004, kasus gizi kurang dan gizi buruk sebanyak
5,1 juta. Kemudian pada tahun 2005 turun menjadi
4,42 juta. Tahun
2006 turun menjadi 4,2
juta (944.246 di antaranya kasus gizi buruk)
dan tahun 2007 turun lagi menjadi 4,1 juta (755.397
di antaranya kasus gizi buruk).
Berdasarkan data Departemen Kesehatan Indonesia pada
tahun 2009, gizi buruk
pada balita tersebar hampir merata di
seluruh Indonesia. Tabel 1 menunjukkan ranking propinsi tertinggi penderita gizi buruk berdasarkan jumlah kasus. Tabel 2 menunjukkan
ranking propinsi tertinggi penderita gizi buruk
berdasarkan prosentase jumlah penduduk3.
Tabel
1
No.
|
Provinsi
|
No.
|
Provinsi
|
No.
|
Provinsi
|
No.
|
Provinsi
|
1
|
Sulsel
|
9
|
Sumbar
|
17
|
Banten
|
25
|
Bali
|
2
|
Sumut
|
10
|
Sulteng
|
18
|
Sultra
|
26
|
Jambi
|
3
|
NTT
|
11
|
Kaltim
|
19
|
Papua
|
27
|
Maluku Utara
|
4
|
Jatim
|
12
|
Kalsel
|
20
|
DKI Jakarta
|
28
|
Maluku
|
5
|
Jateng
|
13
|
NTB
|
21
|
Kalteng
|
29
|
DI Yogya
|
6
|
Jabar
|
14
|
Sumsel
|
22
|
Sulut
|
|
|
7
|
Kalbar
|
15
|
Gorontalo
|
23
|
Bengkulu
|
|
|
8
|
Riau
|
16
|
Lampung
|
24
|
Bangka
Belitung
|
|
|
Tabel 2
No.
|
Provinsi
|
No.
|
Provinsi
|
No.
|
Provinsi
|
No.
|
Provinsi
|
1
|
Gorontalo
|
9
|
Riau
|
17
|
Sulut
|
25
|
Jateng
|
2
|
Papua
|
10
|
Kalsel
|
18
|
Banten
|
26
|
Jabar
|
3
|
Kalbar
|
11
|
Sulteng
|
19
|
Bengkulu
|
27
|
Bali
|
4
|
NTT
|
12
|
Bangka
Belitung
|
20
|
Lampung
|
28
|
DI Yogya
|
5
|
Sumut
|
13
|
Kalteng
|
21
|
Sumbar
|
29
|
Jambi
|
6
|
NTB
|
14
|
Maluku
|
22
|
DKI Jakarta
|
|
|
7
|
Sumsel
|
15
|
Maluku Utara
|
23
|
Sultra
|
|
|
8
|
Sulsel
|
16
|
Kaltim
|
24
|
Jatim
|
|
|
II.4 Gizi Buruk
yang Berkaitan dengan Aspek Sosial Budaya
Dari
empat bilyun manusia di dunia, ratusan juta orang menderita gizi buruk dan kekurangan gizi. Angka
yang tepat tidak ada, tidak ada sensus mengenai
kelaparan dan perbedaan antara gizi cukup dan gizi kurang
merupakan jalur yang lebar, bukan suatu
garis yang jelas.
Apapun
tolok ukur
kita, kelaparan (dan
sering mati
kelaparan) merupakan hambatan yang paling besar bagi perbaikan kesehatan di sebagian terbesar negara-negara
di dunia.
Kekurangan gizi
menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, menyebabkan
banyak penyakit kronis, dan menyebabkan orang tidak mungkin melakukan kerja keras.
Kekurangan gizi ini selain dari ketidakmampuan negara-negra non industri untuk
menghasilkan cukup makanan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk mereka yang berkembang, juga
muncul karena kepercayaan-kepercayaan keliru yang terdapat
di mana- mana, mengenai
hubungan antara makanan dan kesehatan, dan juga tergantung pada
kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan dan upacara-upacara, yang mencegah orang memanfaatkan sebaik-baiknya makanan
yang tersedia
bagi
mereka. Anderson (2006
: 311) menyatakan karena pengakuan bahwa masalah gizi
di seluruh dunia didasarkan atas
bentuk-bentuk budaya
maupun karena
kurang
berhasilnya
pertanian,
maka semua organisasi pengembangan internasional maupun nasional yang
utama
menaruh perhatian tidak semata-mata pada pertambahan produksi makanan, melainkan juga
pada kebiasaan makanan tradisional yang berubah,
untuk mencapa keuntungan
maksimal dari gizi yang diperoleh dari makanan yang tersedia.
Karena
kebiasaan makan hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya
yang menyeluruh, maka program-program
pendidikan gizi yang
efektif yang mungin
menuju kepada perbaikan kebiasaan makan
harus didasarkan atas pengertian tentang makanan sebagai suatu pranata sosial yang memenuhi banyak fungsi.
Studi mengenai makanan
dalam konteks budayanya yang menunjuk kepada masalah-masalah yang praktis ini, jelas
merupakan suatu
peranan para ahli
antropologi
yang sejak
pertama dalam
penelitian lapangannya
telah
mengumpulkan keterangan
tentang
praktek-praktek makan dan kepercayaan tentang
makanan dari
penduduk yang mereka observasi. Dalam
buku
karya
Anderson (2006 : 312), Norge Jerome menyatakan
bahwa
“Antropologi Gizi” meliputi disiplin ilmu tentang gizi dan antropologi. Bidang itu
memperhatikan gejala-gejala antropologi yang mengganggu status gizi
dari manusia.
Dengan demikian, evolusi manusia, sejarah dan kebudayaan, dan adaptasinya kepada variabel gizi yang
berubah-ubah dalam kondisi lingkungan yang beraneka ragam menggambarkan bahan-bahan yang
merupakan titik perhatian dalam antropologi gizi.
Menurut Anderson (2006 : 312) ada dua aspek penting dari antropologi gizi :
a. Sifat sosial, budaya, dan psikologis dari makanan (yaitu peranan-peranan sosial
budaya dari makanan yang berbeda dengan peranan-peranan gizinya).
b. Cara-cara dimana dimensi-dimensi sosial budaya dan psikologi dari makanan berkaitan dengan masalah gizi yang cukup, terutama dalam masyarakat- masyarakat
tradisional.
Menurut
Anderson (2006 : 313) menyatakan bahwa para ahli antropologi memandang kebiasaan
makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak-memasak, masalah kesukaran dan ketidaksukaran, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantangan- pantangan, dan
takhayul-takhayul
yang berkaitan dengan produksi, persiapan, dan konsumsi makanan. Pendeknya, sebagai suatu kategori budaya yang penting, ahli-ahli antropologi melihat makanan
mempengaruhi
dan berkaitan
dengan
banyak kategori
budaya lainnya.
Setelah
mengetahui betapa
kuatnya kepercayaan-kepercayaan kita
atau suatu
masyarakat
mengenai apa
yang dianggap
makanan dan apa yang dianggap
bukan
makanan, sehingga terbukti sangat sukar untuk meyakinkan orang untuk menyesuaikan
makanan tradisional mereka demi kepentingan gizi yang
baik. Karena pantangan agama,
takhayul, kepercayaan tentang kesehatan, dan suatu peristiwa yang
kebetulan dalam sejarah ada bahan-bahan yang bergizi baik yang tidak boleh dimakan, mereka diklasifikasikan sebagai
“bukan makanan”. Dengan kata lain, penting untuk membedakan
antara nutrimen dengan makanan.
Anderson (2006 : 313)
menyatakan
bahwa nutrimen adalah
suatu
konsep biokimia, suatu zat yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang menelannya. Makanan
adalah suatu konsep
budaya,
suaty
pernyataan yang sesungguhnya mengatakan
“zat
ini sesuai
bagi
kebutuhan gizi kita.”
Dalam kebudayaan bukan hanya makanan saja yang dibatasi atau diatur, akan
tetapi konsep tentang makanan,
kapan dimakannya, terdiri dri apa dan etiket makan. Di
antara masyarakat yang cukup makanan, kebudayaan mereka mendikte, kapan mereka
merasa lapar dan apa, serta
berapa banyak mereka harus makan agar memuaskan rasa
lapar. Jadi dengan demikian, nafsu
makan lapar adalah suatu gejala yang berhubungan
namun berbeda. Anderson
(2006
: 315) menyatakan nafsu
makan, dan apa
yang diperlukan untuk memuaskan adalah suatu konsep budaya yang dapat sangat berbeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Sebaliknya,
lapar menggambarkan suatu
kekurangan gizi yang
dasar dan merupakan
suatu
konsep fisiologis.
Makanan selain penting
bagi
kelangsungan
hidup kita,
juga penting
bagi
pergaulan sosial. Anderson (2006 : 317) menyatakan tentang simbolik dari makanan :
a.
Makanan
sebagai ungkapan ikatan sosial Barangkali di setiap masyarakat, menawarkan makanan (dan
kadang-kadang minuman) adalah menawarkan kasih
sayang, perhatian, dan persahabatan. Menerima makanan
yang ditawarkan adalah mengakui dan menerima perasaan yang diungkapkan dan untuk membalasnya.
b.
Makanan sebagai ungkapan dari kesetiakawanan kelompok
Makanan sering dihargai
sebagai lambang-lambang
identitas
suatu
bangsa atau
nasional. Namun tidak semua
makanan mempunyai
nilai lambang
seperti ini, makanan yang mempunyai
dampak yang besar
adalah makanan yang berasal atau
dianggap berasal dari kelompok
itu
sendiri dan bkan
yang biasanya dimakan
di banyak negara yang berlainan atau juga
dimakan oleh banyak suku
bangsa.
c. Makanan dan stress
Makanan memberi rasa ketenteraman dalam keadaan-keadaan yang menyebabkan
stres. Burgess dan Dean menyatakan bahwa sikap-sikap terhadap makanan sering mencerminkan
persepsi tentang bahaya maupun perasaan stres. Menurut
mereka, suatu
cara untuk
mengatasi stres
ini
dari dalam, sehubungan dengan ancaman terhadap jiwa atau terhadap
keamanan emosional adalah melebih-lebihkan bahaya
dari luar, cara lainnya adalah mempersalahkan ancaman dari dalam akibat pengaruh- pengaruh luar.
d. Simbolisme
makanan dalam
bahasa
Pada tingkatan yang
berbeda, bahasa mencerminkan hubungan-hubungan psikologis yang
sangat dalam di
antara makanan, persepsi kepribadian, dan keadaan
emosional. Dalam bahasa Inggris, yang pada ukuran tertentu mungkin tidak tertandingi oleh bahasa
lain, kata-kata sifat dasar yang biasa
digunakan untuk menggambarkan
kualitas-kualitas makanan digunakan
juga untuk menggambarkan kualitas-kualitas manusia.
Setelah
mengetahui betapa
rumit masalah
yang berhubungan dengan gizi ini
ataupun makanan karena berkaitan dengan
kebudayaan masyarakat yang berbeda-beda, maka salah
satu
cara adalah dengan memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang apa yang sering belum dipelajari oleh masyarakat
rumpun maupun masyarakat
pedesaan adalah hubungan antara makanan dan kesehatan serta antara makanan yang
baik dengan kehamilan, juga kebutuhan-kebutuhan akan
makanan khusus bagi anak setelah
penyapihan.
Anderson (2006
: 323) menyatakan bahwa dalam perencanaan kesehatan, masalahnya tidak terbatas pada pencarian cara-cara untuk menyelesaikan lebih banyak
bahan makanan, melainkan harus
pula dicarikan cara-cara
untuk memastikan bahwa bahan-bahan makanan yang tersedia digunakan secara efektif.
Kesenjangan yang besar dalam pemahaman tentang bagaimana makanan itu
digunakan dengan sebaik-baiknya. Barangkali yang terpenting dari kesenjangan itu adalah kegagalan yang berulangkali terjadi untuk mengenal
hubungan yang pasti antara makanan dan
kesehatan. Susunan
makanan yang cukup cenderung ditafsirkan dalam rangka kuantitas, bukan kualitasnya mengenai makanan yang pokok,
yang cukup, bukan pula dari keseimbangannya dalam hal berbagai makanan. Kesenjangan besar yang
kedua dalam kearifan makanan tradisional pada masyarakat
rumpun dan masyarakat petani adalah
seringnya
kegagalan mereka untuk mengenali bahwa
anak-anak mempunyai kebutuhan-
kebutuhan gizi khusus,
baik sebelum maupun sesudah penyapihan.
Penemuan Burgess dan Dean tentang masalah
gizi karena perubahan budaya dalam buku karya Anderson (2006 :
325) menggambarkan aturan yang umum. Meskipun
terdapat suatu kecenderungan umum
bahwa makanan menjadi lebih baik dengan
bertambahnya penghasilan. Kebalikannya,
makanan juga bisa lebih buruk terutama dalam
perubahan dari ekonomi sub sistem menjadi
ekonomi uang. Dan
Marchione yang berpendapat tentang masalah gizi karena perubahan
budaya. Beliau menemukan masalah kekurangan gizi pada rumah tangga-rumah tangga
di desa yang lebih miskin, yang hidupnya berorientasi pada pertanian setengah sub
sistem, menurun secara
menyolok terutama di
atara anak-anak. Bahwa suatu peningkatan dalam pertanian sub sistem
sebagian besar atau seluruhnya
menjelaskan perbaikan ini, hal itu dibuktikan oleh angka-angka kekurangan gizi di perkotaan, yang tetap konstan karena perubahan yang berarti dalam hal pola penyediaan makanan.
Setelah mengetahui keterkaitan atau hubungan antara gizi atau makanan dengan antropologi atau kebudayaan, bagi kita yang menaruh perhatian pada usaha memperbaiki tingkatan gizi dari masyarakat
yang menderita kurang gizi, jelaslah bahwa analisis klinis
dari kekurangan gizi baru merupakan langkah awal. Kemajuan
akan
sedikit sekali tercapai, kecuali
apabila petugas
penyuluhan juga
memahami fungsi-fungsi sosial dari makanan,
arti simbolik, dan kepercayaan yang terkait
dengannya. Pengetahuan mengenai kepercayaan lokal tersebut
dapat dipakai dalam
perencanaan perbaikan
gizi. Dalam buku
Anderson (2006 : 330) Cassel
telah menunjukkan netapa pengidentifikasian makanan-makanan sehat dalam
makanan kuno orang Zulu dapat membangkitkan perhatian mereka terhadap
makanan dan dengan
motivasi nasionalistik bersedia menerima banyak perubahan-perubahan demi
peningkatan gizi mereka.
Kemiskinan dan
kekurangan akan gizi yang
memadai pada tingkatan tertentu membatasi kemungkinan untuk memperbaiki
gizi jutaan
penduduk yang menderita kurang pangan. Sebaliknya,
sungguh mengecewakan untuk melihat bahwa betapa
seringnya
praktek-praktek budaya menimbulkan kekurangan kebutuhan dasar.
Kesadaran
akan praktek-praktek demikian dan pengetahuan
tentang
“hambatan-hambatan” yang harus diatasi untuk dapat
merubah mereka adalah sangat penting untuk membantu
masyarakat memaksimalkan sumber-sumber pangan
yang tersedia bagi mereka. Di sinilah
antropologi memberikan sumbangan besar kepada
ilmu gizi dalam lapangan penelitian
dan pengajaran.
II.5
Tindakan Pemerintah Untuk
Menanggulangi Gizi Buruk
Menurut Menteri Kesehatan RI, tanggung
jawab pemerintah Pusat dalam hal ini
Depkes adalah merencanakan dan menyediakan anggaran
bagi keluarga miskin melalui Jaminan Kesehatan
Masyarakat, membuat standar pelayanan,
buku
pedoman serta melakukan
pembinaan dan supervisi program
ke provinsi, kabupaten dan kota4. Dalam
kaitannya dengan gizi buruk,
Depkes pada tahun 2005
telah mencanangkan Rencana
Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005 – 20095. Menteri
kesehatan menambahkan, pemerintah berusaha meningkatkan aktivitas
pelayanan
kesehatan dan gizi yang bermutu melalui penambahan anggaran
penanggulangan gizi
kurang dan gizi buruk menjadi Rp.
600 milyar pada tahun 2007 dari
yang sebelumnya 63 milyar pada tahun 20016.
Anggaran tersebut ditujukan untuk7:
1. Meningkatkan
cakupan
deteksi
dini gizi
buruk
melalui penimbangan
bulanan balita di posyandu
2. Meningkatkan cakupan dan kualitas tatalaksana kasus gizi buruk di puskesmas/RS
dan
rumah tangga
3. Menyediakan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) kepada balita
kurang gizi dari keluarga miskin
4. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan ibu dalam memberikan asuhan gizi
kepada anak (ASI/MP-ASI)
5. Memberikan suplementasi gizi (kapsul Vit.A)
kepada semua balita
Adapun strategi dan kegiatan Departemen
kesehatan
dan
organ-organnya,
untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut antara lain:
Strategi:
1. Revitalisasi posyandu
untuk mendukung pemantauan pertumbuhan
2. Melibatkan peran aktif tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka adat dan kelompok
potensial lainnya.
3. Meningkatkan cakupan dan kualitas melalui peningkatan keterampilan tatalaksana gizi
buruk
4. Menyediakan sarana pendukung (sarana dan prasarana)
5. Menyediakan dan
melakukan KIE
6. Meningkatkan kewaspadaan dini KLB
gizi buruk
Kegiatan:
1. Deteksi dini gizi buruk melalui bulan
penimbangan balita di posyandu
Melengkapi kebutuhan sarana
di posyandu (dacin, KMS/Buku KIA, RR) Orientasi kader
Menyediakan biaya operasional
Menyediakan materi KIE
Menyediakan suplementasi kapsul Vit. A
2. Tatalaksana kasus gizi buruk
Menyediakan biaya
rujukan khusus
untuk gizi
buruk
gakin baik
di
puskesmas atau
rumah sakit (biaya perawatan dibebankan
pada PKPS BBM)
Kunjungan rumah tindak lanjut setelah perawatan di puskesmas/RS
Menyediakan paket PMT (modisko, MP-ASI)
bagi pasien paska
perawatan Meningkatkan ketrampilan petugas puskesmas/RS
dalam tatalaksana gizi Buruk
3.
Pencegahan gizi buruk
Pemberian makanan
tambahan pemulihan (MP-ASI) kepada balita yang berat badannya tidak naik atau gizi kurang
Penyelenggaraan PMT penyuluhan setiap bulan di posyandu
Konseling
kepada
ibu-ibu
yang
anaknya
mempunyai
gangguan pertumbuhan
4. Surveilen gizi buruk
Pelaksanaan pemantauan wilayah setempat gizi (PWS-Gizi)
Pelaksanaan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa gizi buruk Pemantauan status gizi (PSG)
5.
Advokasi, sosialisasi dan
kampanye penanggulangan gizi buruk
Advokasi kepada
pengambil keputusan
(DPR, DPRD,
pemda, LSM,
dunia usaha dan masyarakat)
Kampanye penanggulangan gizi buruk
melalui media efektif
6. Manajemen program:
Pelatihan petugas Bimbingan teknis
BAB III PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Gizi
buruk adalah status
kondisi
seseorang
yang
kekurangan
nutrisi,
atau nutrisinya di
bawah standar rata-rata. Faktor yang menyebabkan gizi buruk
ada tiga hal yaitu kemiskinan, pendidikan rendah
dan kesempatan
kerja rendah. Ketiga
hal itu
mengakibatkan kurangnya ketersediaan
pangan di rumah tangga
dan pola asuh anak keliru. Di Indonesia, gizi buruk
pada balita tersebar hampir merata
di seluruh propinsi.
Kemiskinan dan
kekurangan akan gizi yang
memadai pada tingkatan tertentu membatasi kemungkinan untuk memperbaiki
gizi jutaan
penduduk yang menderita kurang pangan. Sebaliknya,
sungguh mengecewakan untuk melihat bahwa betapa
seringnya
praktek-praktek budaya menimbulkan kekurangan kebutuhan dasar.
Kesadaran
akan praktek-praktek demikian dan pengetahuan
tentang
“hambatan-hambatan” yang harus diatasi untuk dapat
merubah mereka adalah sangat penting untuk membantu
masyarakat memaksimalkan sumber-sumber pangan
yang tersedia bagi mereka. Di sinilah
antropologi memberikan sumbangan besar kepada
ilmu gizi dalam lapangan penelitian
dan pengajaran.
III.2 Saran
Diperlukan terobosan - terobosan baru yang
dapat menangulangi masalah gizi buruk hingga ke akar-akarnya. Oleh karena itu departemen kesehatan juga harus bekerja sama dengan berbagai
pihak untuk mengatasi masalah kemiskinan, pendidikan rendah,
dan kesempatan kerja rendah. Selain itu,
anak-anak Indonesia harus lebih bersungguh-
sungguh belajar dengan tekun, agar Indonesia lebih maju.
DAFTAR PUSTAKA
ANTARA News, 13 Maret
2007,
“27 Persen Balita Indonesia
Alami
Gizi Buruk”,
diakses dari http://www.antara.co.id/print/?i=1205419661.
Blog yudhie-router. 21 Mei 2010, “Aspek Sosial Budaya yang Mempengaruhi Status Gizi”, Jumat, 21
Mei 2010, diakses dari http://yudhie- router.blogspot.com/2010/05/aspek-sosial-budaya-yang-mempengaruhi.html
Blog Muji Rachman, 5 Januari 2010 “Hubungan Antropologi Dengan Gizi”, diakses dari http://muji-rachman.blogspot.com/2010/01/hubungan-antropologi-dengan-gizi.html
Blog Milyandra,
22 Februari 2010, “Seminar Kesehatan Gizi dan Gizi Buruk”, diakses
dari http://mily.wordpress.com/seminar-kesehatan-gizi-vz-gizi-buruk/
Budi Bach, 2010,
“Gizi
Buruk
Tamparan Keras Hari
Gizi Nasional”, diakses dari http://www.budibach.com/home/index.php? option=com_content&view=article&id=169:gizi-buruk-tamparan-keras-hari-gizi-
nasional&catid=20:reportase&Itemid=27
Departemen Kesehatan,
Berita 11 Maret 2008, “Penulisan Data
Gizi Buruk Harus Akurat dan Tidak
Dipolitisir”, diakses dari http://www.depkes.go.id.
Dhian Tri Ratna, 2005, “Perbedaan Status
Gizi”,
diakses
dari http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH0147/86007b4e.dir/doc.pdf
Gizi – Depkes,
2003
“Analisis Antropometri Balita – Susenas 2003”,
diakses
dari http://www.gizi.net.
Nurpudji A. Taslim, 2009, “Kontroversi seputar gizi
buruk: Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan”, diakses dari http://www.gizi.net/makalah/Kontroversi- giziburuk-column.pdf.
Pangan Untuk Semua, 2010, “Rencana Penanggulangan masalah Gizi Buruk”,
gizi-buruk.doc.
Prakarsa Rakyat, Forum
Belajar Bersama, 27 Juni 2008, “Pendapatan Rendah, Faktor Penyebab Busung
Lapar”,
diakses
dari http://www.prakarsa- rakyat.org/artikel/news/artikel.php?aid=3705
Susilowati, S.KM,
2008, “Konsep Dasar Timbulnya Masalah”, diakses dari http://www.eurekaindonesia.org/wp-content/uploads/konsep-dasar-timbulnya-masalah- gizi.pdf
Website
Maluku,
14
Oktober
2009, “Gizi
Buruk”,
diakses
dari http://www.malukuprov.go.id/index.php/kesehatan/47-kesehatan/66-gizi-buruk
Website tvONE, 31 Maret
2010,
“Penderita
Gizi Buruk Tak
Hanya Keluarga Miskin”,
diakses
dari
http://sosialbudaya.tvone.co.id/berita/view/35625/2010/03/31/penderita_gizi_buruk_tak_ hanya_keluarga_miskin/
0 comments