makalah asuhan neonatus bayi dan balita

BAB I

PENDAHULUAN


1.1    DEFINISI

Tetanus berasal dari kata eflex (Yunani) yang berarti peregangan. Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurofoksin yang dihasilkan oleh clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.
Tetanus berasal dari bahasa Yunani “Tetanos” yang berarti peregangan.
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan menetek di susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989).
Tetanus neonatorum adalah kejang-kejang yang dijumpai pada BBL yang bukan karena trauma, kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih. (Ngastijah, 1987).                                                     
Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium tetani. Tetanus neonatorim adalah suatu penyakit infeksi yang di sebabkan oleh  kuman,clostridium tetani.
Tetanus neonatorium merupakan penyebab kejang yang sering di jumpai pada BBL yang di sebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotogan tali pusat atau perawatan tidak aseptik.

Tetanus neonatorum adalah:merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi masuknya kuman tetanus melalui luka tali pusat
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh Clastridium Tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun yang menyerang sistem saraf pusat).
Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium tetani.

1.2    TUJUAN

1.    Tujuan umum:
Untuk membantu memperoleh informasi mengenai penyakit tetanus pada bayi dan balita dan dapat mengetahui penyakit tetanus pada bayi dan balita, memahami penyakit tetanus pada bayi serta menambah wawasan tentang penyakit tetanus pada bayi dan balita dalam melaksanakan asuhan neonatus pada bayi dan balita yang mengalami penyakit tetanus. 

2.    Tujuan khusus :
a.    Untuk mengetahui definisi penyakit tetanus neonatorum
b.    Untuk mengetahui etiologi penyakit tetanus neonatorum
c.    Untuk mengetahui epidemiologi penyakit  tetanus neonatorum
d.   Untuk mengetahui transmisi penyakit tetanus neonatorum
e.    Untuk mengetahui patofisiologi penyakit tetanus neonatorum
f.     Untuk mengetahui manifestasi klinis penyakit tetanus neonatorum
g.    Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic penyakit tetanus neonatorum
h.    Untuk mengetahui pencegahan dan factor resiko penyakit tetanus neonatorum
i.      Untk mengetahui peatalaksanaan penyakit tetanus neonatorum.

BAB II

TINJAUAN TEORI


2.1    DEFINISI

Tetanus berasal dari kata eflex (Yunani) yang berarti peregangan. Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurofoksin yang dihasilkan oleh clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot yang periode dan berat.
Tetanus berasal dari bahasa Yunani “Tetanos” yang berarti peregangan.
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan menetek di susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989).
Tetanus neonatorum adalah kejang-kejang yang dijumpai pada BBL yang bukan karena trauma, kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih. (Ngastijah, 1987).                                                     
Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium tetani. Tetanus neonatorim adalah suatu penyakit infeksi yang di sebabkan oleh  kuman,clostridium tetani.
Tetanus neonatorium merupakan penyebab kejang yang sering di jumpai pada BBL yang di sebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotogan tali pusat atau perawatan tidak aseptik.
Tetanus neonatorum adalah:merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi masuknya kuman tetanus melalui luka tali pusat
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh Clastridium Tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun yang menyerang sistem saraf pusat).
Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium tetani.

2.2    ETIOLOGI

Penyakit tetanus neonatorum disebabkan oleh bakteri closiridium tetani, yang merupakan organisme ibligat anacrob (tidak membutuhkan oksigen). Biasanya datangnya bakteri disebabkan infeksi selama masa neonatan, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatan tidak aseptik, dan proses partus yang kurang steril.
Faktor Penyebab penyakit tetanus neonatorum
a)      Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat juga seringkali meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku di negara-negara berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan persalinan masih menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali bayi baru lahir.
b)      Cara perawatan tali pusat dengan teknik tradisional seperti menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat dengan kunyit dan abu dapur, kemudian tali pusat tersebut dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril, serta tempat pelayanan persalinan yang tidak bersih dan steril.
c)      Kekebalan ibu terhadap tetanus, merupakan faktor-faktor yang berperan untuk meningkatkan risiko terjadinya neonatus neonatorum.




2.3    EPIDEMIOLOGI

Clostridium tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul, gram positip. Dapat bergerak dan membentuk sporaspora, terminal yang menyerupai tongkat penabuh genderang (drum stick). Spora spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan yang merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan dengan otoklaf. Kuman ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah, asalkan tidak terpapar sinar matahari, selain dapat ditemukan pula dalam debu, tanah, air laut, air tawar dan traktus digestivus manusia serta hewan.
Clostridium tetani terdapat di tanah dan traktus digestivus manusia serta hewan.kuman ini dapat membuat spora yang tahan lama dan berkembang biak dalam luka kotor atau jaringan nekrotik yang mempunyai suasana aerobic.Pada bayi penyakit ini di tularkan biasanya melalui talipusat,yaitu karena pemotongan talipusat dengan alat yang tidak steril.selain itu infeksi dapat juga melalui pemakaian oba,bubuk atau daun-daun yang di gunakan dalam perawatan talipusat.
Penyakit ini masih banyak terdapat di Indonesia dan Negara-negara lain yang sedang berkembang.mortalitasnya sangat tinggi karena biasanya baru mendapat pertolongan bila keadaan bayi sudah gawat.Penanganan yang sempurna memegang peranan yang penting dalam menurunkan angka mortalitas.

2.4    TRANSMISI

Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Luka, baik besar ataupun kecil, menjadi jalan masuknya bakteri menyebab tetanus (Clostridium tetani), sekaligus menjadi tempatberkembang dan menghasilkan racun. Tetanus dapat mengikuti operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka menghancurkan, otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan kehamilan.
Pengguna heroin, terutama mereka yang menggunakan jarum suntik secara subkutan dengan kina-potong heroin, berisiko tinggi terkena tetanus. Kina digunakan untuk mencairkan heroin dan benar-benar dapat mendukung pertumbuhan bakteri Clostridium tetani.
Selama 1998-2000, cedera akut atau luka seperti tusukan, laserasi, dan lecet menyumbang 73% dari kasus dilaporkan tetanus pada rakyat AS yang bekerja di bidang yang mempunyai risiko untuk tertusuk, luka, dan lecet. (7)

2.5    PATOFISIOLOGI

Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk flex  dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan eflex jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan.
a.         Efek Toxin pada :
Tetanus Neonatorum Ganglion pra sumsum tulang belakang :
Memblok sinaps jalur antagonist, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus ototnya meningkat dan otot menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi eflexe dari neurons yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat terangsang. Depolarisasi yang berkaitan dengan jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory transmitter dan menekan pengaruh bahan ini pada eflexe neuron motorik.



b.        Tetanus Neonatorum Otak
Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.
c.         Tetanus Neonatorum Saraf otonom
Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, eflexeea, hypotensi, hypertensi, arytmia cardiac block atau takhikardia. Sekalipun otot yang terkena adalah otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang besar-besar, pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti disebutkan diatas.
Sedangkan pada tetanus neonatorum luka yang terjadi akibat pemotongan tali pusat dengan alat-alat yang tidak steril atau perawatan tali pusat yang salah. Dimana clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Pada neonatus/bayi baru lahir clostridium tetani dapat masuk melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis antisepsis.
Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk berubah bentuk dan kemudian mengeluarkan eksotoksin. Kuman tetanus sendiri tetap tinggal di daerah luka. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Toksin ini diabsorpsi oleh organ saraf di ujung saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi.

2.6    MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinik tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang primitifpun mampu mengenalinya sebagai “penyakit hari kedelapan” (Jaffari, Pandit dan Ismail 1966). Anak yang semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965, Marshall, 1968). Bentukan mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas (Irwantono, Ismudijanto dan MF Kaspan 1987).
Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak. Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku, bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.
1.    Gambaran Umum pada Tetanus Neonatorum
a. Trismus (lock-jaw, clench teeth)
Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut “mecucu” seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tak
b. Dapat menetek.
c. Risus Sardonicus (Sardonic grin)
Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutup
sudut mulut keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang dalam.
d.Opisthotonus
Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut. Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada tulang vertebra.
e. Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada eflexe) atau bronchopneumonia.
f.  Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun “masa istirahat” kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.
g. Pada tetanus yang berat akan terjadi :
Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh karena spasme otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.
Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau kelainan pembuluh darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis).
Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan eflexealvi atau retention urinae. Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi tulang belakang.
Masa inkubasi 3 – 28 hari, dengan rata-rata 6 hari. Bila kurang dari 7 hari, biasanya penyakit lebih parah dan angka kematiannya tinggi.

Kategori
Tetanus Neonatorum Sedang
Tetanus Neonatorum Berat
Umur bayi
> 7 hari
0 – 7 hari
Frekuensi kejang
Kadang-kadang
Sering
Bentuk kejang
Mulut mencucu,
Trismus kadang,
Kejang rangsang (+)
Mulut mencucu,
Trismus terus-menerus,
Kejang rangsang (+)
Posisi badan
Opistotonus kadang-kadang
Selalu opistotonus
Kesadaran
Masih sadar
Masih sadar
Tanda-tanda infeksi
Tali pusat kotor,
Lubang telinga kotor/bersih
Tali pusat kotor,
Lubang telinga kotor/bersih


2.7    PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat, pemeriksaannya meliputi:
1.    Darah
·            Glukosa Darah:Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
·            BUN:Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
·            Elektrolit:K, Na Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
·            Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl ) Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2.    Skull Ray:Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
3.    EEG:Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.


Bila di Rumah Sakit :
1.        Umur lebih dari 24 jam ditambah bikar bonas Natrikus 1,5 %
2.        Dosis anti kejang IV dengan dosis rumat
3.        Diazepam 8-10 mg/ kg IV diganti tiap 6 jam
4.        Ais 10.000 u/ hari i.m
5.        Ampisilin 100 mg/ kg IV atau prokain penisilin 50.000 u/ kg i.m selama 3 hari
6.        Ruang perawatan tenang
Factor resiko untuk terjadinya tetanus neonatorum :
1.    Pemberian imunisasi tetanus toksoid (TT) pada ibu hamil tidak dilakukan, atau tidak   lengkap, atau tidak sesuai dengan ketentuan program.
2.         Pertolongan persalinan tidak memenuhi syarat-syarat “3 bersih”
3.         Perawatan tali pusat tidak memenuhi persyaratan kesehatan.
Kekebalan terhadap hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. TT akan merangsang pembentukan antibody spesifik yang mempunyai peranan penting dalam perlindungan tetanus. Ibu hamil yang mendapat TT didalam tubuhnya akan membentuk antibody tetanus seperti difteri, antibody tetanus termasuk dalam golongan IgG yang mudah melewati sawar placenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh tubuh janin, yang akan mencegah terjadinya tetanus neonatorum.
Imunisasi TT pada ibu hamil diberikan 2x (2 dosis). Jarak pemberian TT pertama dan kedua, serta jarak antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat menentukan kadar antibody tetanus dalam darah bayi. Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan kedua dengan kelahiran bayi, maka kadar antibody tetanus dalam darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang panjang akan mempertinggi respon imunologi dan diperoleh cukup waktu untuk menyebarkan antibody tetanus dalam jumlah yang cukup dari tubuh ibu hamilketubuh bayinya.
Imunisasi TT opada kehamilan sedini mungkin akan memberikan cukup waktu antara dosis pertama dan dosis ke dua, serta antara dosis kedua dengan saat kehamilan. Interval imunisasi TT abis pertama dengan dosis kedua minimal 4 minggu.
TT adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk wanita hamil. Tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT.
Pada ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan perbedaan risiko catat bawaan atau pun abortus dengan mereka yang tidak mendapatkan imunisasi.

2.8    PENCEGAHAN DAN FAKTOR RESIKO

1.    Faktor resiko Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum terjadi pada masa perinatal, antara umur 0 sampai 28 hari, terutama pada saat luka eflex tali pusat belum kering, sehingga spora C. tetani dapat mencemari dan berbiak menjadi kuman eflexee.
Menurut Foster, (1983) serta Sub Dinas PPM Propinsi Jawa Timur, (1989) Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Merupakan flex yang menentukan kepadatan kuman dan tingginya tingkat pencemaran spora di lingkungannya. Risiko akan hilang bila lahan pertanian dan peternakan diubah penggunaannya.
a)         Faktor Cara Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan sembilu, pisau cukur atau silet untuk memotong tali pusat tergantung pada pengertian masyarakat akan sterilitas. Setelah dipotong, tali pusat dapat disimpul erat-erat atau diikat dengan benang. Penolong persalinan biasanya lebih memusatkan perhatian pada ”kelahiran” plasenta dan perdarahan ibu.
b)        Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
Tata cara perawatan perinatal sangat berkaitan erat dengan hasil interaksi antara tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi masyarakat dan adanya pelayanan kesehatan di lingkungan sekitarnya. Masyarakat di banyak daerah masih menggunakan daun-daun, ramuan, serbuk abu dan kopi untuk pengobatan luika eflex tali pusat. Kebiasaan ini tidak dapat dihilangkan hanya dengan pendidikan dukun bayi saja.
c)         Faktor Kebersihan Pelayanan Persalinan
Merupakan interaksi antara kondisi setempat dengan tersedianya pelayanan kesehatan yang baik di daerah tersebut yang menentukan subyek penolong persalinan dan kebersihan persalinan. Untuk daerah terpencil yang belum terjangkau oleh pelayanan persalinan yang higienis maupun daerah perkotaan yang biaya persalinannya tak terjangkau oleh masarakat, peranan dukun bayi (terlatih atau tidak) maupun penolong lain sangatlah besar. Pelatihan dukun bayi dapat menurunkan kematian perinatal namun tidak berpengaruh pada kejadian tetanus neonatorum.
Masih banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya (25 sampai 60%) dan lebih banyak lagi yang persalinannya tidak ditolong oleh tenaga medis (70%) sehingga resiko tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar.
d)        Faktor Kekebalan Ibu Hamil
Merupakan eflex yang sangat penting. Antibodi antitetanus dalam darah ibu
e)         Hamil yang dapat disalurkan pada bayinya dapat mencegah manifestasi klinik
infeksi dengan kuman C. tetani (Suri, dkk,1964). Suntikan tetanus toksoid 1 kalipun dapat mengurangi kematian tetanus neonatorum dari 70-78 per 1000 kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup (Newell, 1966, Black,






2.9    PENCEGAHAN

1)   Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).(2)
2)   Vaksinasi adalah cara pencegahan terbaik terhadap tetanus. Komite Penasehat untuk Praktik Imunisasi (ACIP) merekomendasikan bahwa semua anak menerima serangkaian rutin dari 5 dosis difteri dan vaksin tetanus pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. Dosis booster difteri dan tetanus toxoid harus diberikan dimulai pada usia 11-12 tahun (minimal 5 tahun sejak dosis terakhir) dan diulangi setiap 10 tahun sesudahnya. Saat ini, DTaP dan DT harus digunakan pada orang kurang dari tujuh tahun, sedangkan Td diberikan kepada mereka yang berusia tujuh tahun atau lebih. Jadwal catch-up imunisasi Td bagi mereka dimulai pada usia tujuh tahun atau lebih terdiri dari tiga dosis. Dosis kedua biasanya diberikan 1-2 bulan setelah dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis kedua. Aselular formulasi vaksin pertusis bagi remaja dan orang dewasa yang berlisensi dan dikombinasikan dengan difteri dan tetanus-toxoid. Jadwal yang disarankan untuk Tdap belum ditentukan, tetapi vaksin ini harus diterima dalam kondisi yang tepat. (1,9)
3)   Untuk pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah pencegahan, selain imunisasi ibu, adalah program imunisasi untuk gadis remaja dan wanita usia subur serta pelatihan yang tepat bidan dalam rekomendasi untuk imunisasi dan teknik aseptik dan pengendalian infeksi.
Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan untuk mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah 1) pertolongan persalinan yang aman dan bersih; 2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan merata; dan 3) penyelenggaraan surveilans. Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada wanita usia subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum optimal, pencatatan yang dimulai dari kohort WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan cakupan imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan imunisasi TT2 selama tahun 2003-2007   tidak mengalami perkembangan, bahkan cenderung menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan imunisasi TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008, kemudian meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009). (3)
4)   Data dari WHO menunjukkan bahwa, dari tahun ke tahun cakupan imunisasi DTP3 mengalami kenaikan. Semakin tingginya cakupan imunisasi, baik imunisasi DTP3 maupun TT2, menunjukkan penurunan pada terjadinya kasus tetanus, tetanus neonatorum.

2.10 Jadwal pemberian imunisasi:

1.    Bayi dan Anak Normal
Imunisasi harus dimulai pada awal masa bayi dan memerlukan empat suntikan DTaP diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 15-18 bulan. Dosis pertama  diberikan pada usia 4-6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama  (usia 14-16 tahun),  suntikan Td,  yang berisi dosis yang sama tetanus toksoid sebagai DTP dan dosis difteri toxoid yang dikurangi, harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup individu dalam peristiwa yang tidak ada reaksi signifikan untuk DTP atau Td.
    


2.    Bayi dan Anak Normal Usia Tujuh Bulan  yang tidak Mendapat Imunisasi di Awal
DTP harus diberikan pada kunjungan pertama dan 2 dan 4 bulan setelah injeksi pertama. Dosis keempat harus diberikan 6-12 bulan setelah terlebih dulu injeksi pertama. Dosis pertama diberikan antara 4 dan 6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama (14-16 tahun), suntikan Td harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun di seluruh. Prasekolah dosis tidak diperlukan jika dosis keempat dari DTP merupakan diberikan setelah ulang tahun keempat.
3.    Anak Usia Tujuh Tahun atau Lebih yang Belum diimunisasi
Imunisasi memerlukan setidaknya tiga suntikan Td.  Suntikan harus diberikan pada kunjungan pertama , 4-8 minggu setelah bulan pertama  Td, dan 6-12 setelah Td kedua. Td suntikan harus berulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi yang signifikan untuk Td.
4.    Wanita hamil yang belum Diimunisasi
Neonatal tetanus dapat dicegah dengan imunisasi aktif dari ibu hamil. Wanita hamil yang belum diimunisasi harus menerima dua dosis Td sebelum persalinan, sebaiknya selama dua trimester terakhir, diberikan 2 bulan terpisah.  Sebelum ada bukti bahwa tetanus dan difteri toxoid yang teratogenik. Setelah melahirkan, sang ibu harus diberi dosis ketiga Td 6 bulan setelah dosis kedua untuk melengkapi imunisasi aktif. Td suntikan harus diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi signifikan terhadap Td.  Jika neonatus yang ditanggung oleh seorang ibu yang belum diimunisasi tanpa perawatan kebidanan, bayi harus menerima 250 unit TIG manusia. TIG adalah solusi dari gamma globulin disiapkan dari darah vena manusia, hyperimmunized dengan tetanus toksoid.
5.    Anak di bawah Tujuh Bulan dengan Kontraindikasi untuk Vaksinasi Pertusis

6.    DT (untuk penggunaan pediatrik) lebih baik digunakan daripada DTaP. Anak di bawah 1 tahun menerima imunisasi DT sebanyak 4 kali. Tiga dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu dan dosis keempat 6-12 bulan kemudian. Jika dosis vaksin pertusis menjadi kontraindikasi setelah mulai DTaP di tahun pertama kehidupan anak, DT harus diganti dengan DTaP di jadwal yang tersisa.
7.    Bayi dengan Penyakit Neurologis
a.         Bayi yang memiliki atau diduga memiliki penyakit neurologis, pemberian imunisasi DTaP atau  DT ditunda sampai observasi lebih lanjut dan status neurologis anak telah jelas. Tapi, imunisasi DTaP atau DT dilakukan selambat-lambatnya anak berusia satu tahun.
8.    Bayi Dengan Gangguan Neurologis sementara Berkaitan dengan DTaP Vaksinasi
Bayi dan anak-anak yang mengalami kejang dalam waktu 3 hari sejak diterimanya DTaP atau ensefalopati dalam 7 hari tidak boleh menerima vaksin pertusis, bahkan meskipun penyebab dan akibat mungkin tidak bisa dimunculkan.
9.    Anak-anak dengan Gangguan Neurologis tidak Diimunisasi  dengan Lengkap
Jika kejang atau gangguan lainnya terjadi sebelum ulang tahun pertama dan penyelesaian terlebih dulu tiga dosis utama serangkaian DTaP, dosis lebih lanjut DTaP atau DT dianjurkan sampai status bayi  telah jelas.

10.    Bayi dan Anak-anak dengan Kondisi Neurologis Stabil
Bayi dan anak-anak dengan kondisi neurologis yang stabil, termasuk kejang terkendali dengan baik, dapat divaksinasi.  Terjadinya kejang tunggal (terkait dengan DTaP) pada bayi dan anak kecil, sementara yang memerlukan evaluasi, tidak perlu imunisasi DTaP, terutama jika kejang dapat dijelaskan secara memuaskan. Antikonvulsan profilaksis harus dipertimbangkan ketika memberikan DTaP ke anak-anak tersebut.
11.    Anak-anak dengan Gangguan neurologis yang Terselesaikan
Imunisasi DTaP dianjurkan untuk bayi dengan masalah neurologis tertentu yang telah jelas mereda atau telah diperbaiki, seperti neona-hypocalcemic tetani atau hidrosefalus (berikut penempatan shunt dan tanpa kejang).

2.11 PENATALAKSANAAN

1.        Penatalaksanaan
1)   Penatalaksanaan medis Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian antibiotik, menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.       Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde, melalui infus diberikan tambahan protein dan kalium.
b.      Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5 mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan diurunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena.
c.       ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus.
d.      Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari. Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis.
e.       Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%.
f.       Perhatikan jalan napas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.

2)   Penatalaksanaan keperawatan
Pasien tetanus neonatorum dalah pasien yang gawat, mudah terangsang kejang dan bila kejang selalu disertai sianosis. Spasme pada otot pernafasan sering menyebabkan pasien apneu. Spasme otot telan akan menyebabkan liur sering terkumpul didalam mulut dan dapat menyebabkan aspirasi. Oleh karena itu, pasien perlu dirawat dikamar yang tenang tetapi harus terang (untuk memudahkan pengawasan pada bayi, dan bila terjadi apneu agar segera dapat dilakukan tindakan. Dahulu kamar tetanus selalu gelap). Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan pernafasan, kebutuhan nutrisi/cairan, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
        Tiindakan pada pasien tetanus neonatorum pada saat kejang.
Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah bahunya.
        Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1-2 L/menit jika sedang terjadi kejang karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat samapi 4L/menit ( jika kejang telah berhenti turunkan lagi).
Pada saat kejang, pasangkan sudip lidah untuk mencegah lidah jatuh lebih baik dipasang terus.
Sering isap lender, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan napas buatan pada saat apneu dan sewaktu – waktu terlihat lender pada mulut bayi.
Observasi tanda vital secara kontinu setiap 1⁄2 jam dan catat secara cermat. Pasien tetanus neonatorum karena mendapatkan antikonvulsan terus kemungkinan sewaktu – waktu dapat terjadi apneu.
        Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat (pasang selubung tempat tidur/kain disekeliling tempat tidur karena selama payah bayi sering dalam keadaan telanjang, maksudnya agar memudahkan pengawasan pernafasannya). Bil bayi kedinginan juga dapat menyebabkan apneu.
Tindakan pada bayi apneu.
Isap lendirnya sampai bersih (dari mulut juga hidung)
O2 dberikan lebih besar (dapat sampai 4L/menit)
Letakkan bayi diatas tempat tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan – tekan bagian iktus jantung ditengah – tengah tulang dada dengan dapat juga dilakukan dengan kedua ibu jari diatas dada bayi dan delapan jari dibawah punggungnya dengan frekuensi sama.
Bahaya terjadinya gangguan pernafasan . gangguan pernafasan yang sering terjadi adalah apneu, yang disebabkan adanya tetanospasmin yang menyerang otot – otot pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi . adanya spasme pada otot faring menyebabkan terkumpulnya liur didalam rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya pneumonia aspirasi. Adanya lender di tenggorok juga menghalangi kelancaran lalu – lintas udara (pernafasan). Pasien tetanus neonaorum setiap kejang selalu disertai sianosis dan frekuensi kejang biasanya sering sehingga pasien akan terlihat sianosis terus – menerus. Tindakan yang perlu dilakukan.
Dewasa ini, di subbagian anak RSCM Jakarta pemberian diazepam pada bayi dengan tetanus neonatorum diberikan melalui drip dengan menggunakan mikrodrip (mikrodrip ialah tabung yang hanya berisi 100 ml dan setiap ml berisi 60 tetes). Pada bayi tetanus yang payah biasanya dipasang 2 tabung mikrodrip untuk pemberian cairan biasa dan yang lain khusus untuk diazepam. Cairan yang diberikan adalah glukosa 10% dan bikarbonas natrikus 11⁄2%). Jika tidak menggunakan mikrodrip tetesan harus pelan sekali. Dalam keadaan bayi tidak banyak kejang, diazepam dimasukkan kedalam 100 ml cairan sebanyak dosis yang diperlukan dan diharapkan dapat habis dalam 24 jam seterusnya diganti lagi. Tetapi jika bayi banyak kejang (frekuensinya sering sekali) diazepam dimasukkan kedalam 50 ml cairan tetesannya lebih dipercepat dan diganti setiap 6 jam (tetesan kira – kira 8 tetes permenit).
Kebutuhan nutrisi/cairan. Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadannya payah, untuk memenuhi kebutuhan makanannya perlu diberi infuse dengan cairan glukosa 10%. Tetapi karena bayi juga sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 11⁄2% dengan perbandingan 4:1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian makanan dapat diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara bertahap.

2.12 PENYEBAB

Penyakit tetanus neonatorum disebabkan oleh bakteri closiridium tetani, yang merupakan organisme ibligat anacrob (tidak membutuhkan oksigen). Biasanya datangnya bakteri disebabkan infeksi selama masa neonatan, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatan tidak aseptik, dan proses partus yang kurang steril.

Faktor Penyebab penyakit tetanus neonatorum
  • Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat juga seringkali meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku di negara-negara berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan persalinan masih menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali bayi baru lahir.
  • Cara perawatan tali pusat dengan teknik tradisional seperti menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat dengan kunyit dan abu dapur, kemudian tali pusat tersebut dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril, serta tempat pelayanan persalinan yang tidak bersih dan steril.
  • Kekebalan ibu terhadap tetanus, merupakan faktor-faktor yang berperan untuk meningkatkan risiko terjadinya neonatus neonatorum.












BAB III

PEMBAHASAN


3.1  PENGERTIAN

Tetanus berasal dari kata eflex (Yunani) yang berarti peregangan. Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurofoksin yang dihasilkan oleh clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot yang periode dan berat.

3.2  PENCEGAHAN

Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).(2)
Vaksinasi adalah cara pencegahan terbaik terhadap tetanus. Komite Penasehat untuk Praktik Imunisasi (ACIP) merekomendasikan bahwa semua anak menerima serangkaian rutin dari 5 dosis difteri dan vaksin tetanus pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. Dosis booster difteri dan tetanus toxoid harus diberikan dimulai pada usia 11-12 tahun (minimal 5 tahun sejak dosis terakhir) dan diulangi setiap 10 tahun sesudahnya. Saat ini, DTaP dan DT harus digunakan pada orang kurang dari tujuh tahun, sedangkan Td diberikan kepada mereka yang berusia tujuh tahun atau lebih. Jadwal catch-up imunisasi Td bagi mereka dimulai pada usia tujuh tahun atau lebih terdiri dari tiga dosis. Dosis kedua biasanya diberikan 1-2 bulan setelah dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis kedua. Aselular formulasi vaksin pertusis bagi remaja dan orang dewasa yang berlisensi dan dikombinasikan dengan difteri dan tetanus-toxoid. Jadwal yang disarankan untuk Tdap belum ditentukan, tetapi vaksin ini harus diterima dalam kondisi yang tepat. (1,9)
Untuk pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah pencegahan, selain imunisasi ibu, adalah program imunisasi untuk gadis remaja dan wanita usia subur serta pelatihan yang tepat bidan dalam rekomendasi untuk imunisasi dan teknik aseptik dan pengendalian infeksi. 
Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan untuk mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah 1) pertolongan persalinan yang aman dan bersih; 2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan merata; dan 3) penyelenggaraan surveilans. Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada wanita usia subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum optimal, pencatatan yang dimulai dari kohort WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan cakupan imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan imunisasi TT2 selama tahun 2003-2007   tidak mengalami perkembangan, bahkan cenderung menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan imunisasi TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008, kemudian meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009). (3)
Data dari WHO menunjukkan bahwa, dari tahun ke tahun cakupan imunisasi DTP3 mengalami kenaikan. Semakin tingginya cakupan imunisasi, baik imunisasi DTP3 maupun TT2, menunjukkan penurunan pada terjadinya kasus tetanus, tetanus neonatorum.
Jadwal pemberian imunisasi:
A.  Bayi dan Anak Normal
Imunisasi harus dimulai pada awal masa bayi dan memerlukan empat suntikan DTaP diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 15-18 bulan. Dosis pertama  diberikan pada usia 4-6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama  (usia 14-16 tahun),  suntikan Td,  yang berisi dosis yang sama tetanus toksoid sebagai DTP dan dosis difteri toxoid yang dikurangi, harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup individu dalam peristiwa yang tidak ada reaksi signifikan untuk DTP atau Td.
B.  Bayi dan Anak Normal Usia Tujuh Bulan  yang tidak Mendapat Imunisasi di Awal
DTP harus diberikan pada kunjungan pertama dan 2 dan 4 bulan setelah injeksi pertama. Dosis keempat harus diberikan 6-12 bulan setelah terlebih dulu injeksi pertama. Dosis pertama diberikan antara 4 dan 6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama (14-16 tahun), suntikan Td harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun di seluruh. Prasekolah dosis tidak diperlukan jika dosis keempat dari DTP merupakan diberikan setelah ulang tahun keempat.
C.  Anak Usia Tujuh Tahun atau Lebih yang Belum diimunisasi
Imunisasi memerlukan setidaknya tiga suntikan Td.  Suntikan harus diberikan pada kunjungan pertama , 4-8 minggu setelah bulan pertama  Td, dan 6-12 setelah Td kedua. Td suntikan harus berulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi yang signifikan untuk Td.
D.  Wanita hamil yang belum Diimunisasi
Neonatal tetanus dapat dicegah dengan imunisasi aktif dari ibu hamil. Wanita hamil yang belum diimunisasi harus menerima dua dosis Td sebelum persalinan, sebaiknya selama dua trimester terakhir, diberikan 2 bulan terpisah.  Sebelum ada bukti bahwa tetanus dan difteri toxoid yang teratogenik. Setelah melahirkan, sang ibu harus diberi dosis ketiga Td 6 bulan setelah dosis kedua untuk melengkapi imunisasi aktif. Td suntikan harus diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi signifikan terhadap Td.  Jika neonatus yang ditanggung oleh seorang ibu yang belum diimunisasi tanpa perawatan kebidanan, bayi harus menerima 250 unit TIG manusia. TIG adalah solusi dari gamma globulin disiapkan dari darah vena manusia, hyperimmunized dengan tetanus toksoid.
E.  Anak di bawah Tujuh Bulan dengan Kontraindikasi untuk Vaksinasi Pertusis
DT (untuk penggunaan pediatrik) lebih baik digunakan daripada DTaP. Anak di bawah 1 tahun menerima imunisasi DT sebanyak 4 kali. Tiga dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu dan dosis keempat 6-12 bulan kemudian. Jika dosis vaksin pertusis menjadi kontraindikasi setelah mulai DTaP di tahun pertama kehidupan anak, DT harus diganti dengan DTaP di jadwal yang tersisa.
F.   Bayi dengan Penyakit Neurologis
Bayi yang memiliki atau diduga memiliki penyakit neurologis, pemberian imunisasi DTaP atau  DT ditunda sampai observasi lebih lanjut dan status neurologis anak telah jelas. Tapi, imunisasi DTaP atau DT dilakukan selambat-lambatnya anak berusia satu tahun.


G. Bayi Dengan Gangguan Neurologis sementara Berkaitan dengan DTaP Vaksinasi
Bayi dan anak-anak yang mengalami kejang dalam waktu 3 hari sejak diterimanya DTaP atau ensefalopati dalam 7 hari tidak boleh menerima vaksin pertusis, bahkan meskipun penyebab dan akibat mungkin tidak bisa dimunculkan.
H.  Anak-anak dengan Gangguan Neurologis tidak Diimunisasi  dengan Lengkap
Jika kejang atau gangguan lainnya terjadi sebelum ulang tahun pertama dan penyelesaian terlebih dulu tiga dosis utama serangkaian DTaP, dosis lebih lanjut DTaP atau DT dianjurkan sampai status bayi  telah jelas.
I.     Bayi dan Anak-anak dengan Kondisi Neurologis Stabil
Bayi dan anak-anak dengan kondisi neurologis yang stabil, termasuk kejang terkendali dengan baik, dapat divaksinasi.  Terjadinya kejang tunggal (terkait dengan DTaP) pada bayi dan anak kecil, sementara yang memerlukan evaluasi, tidak perlu imunisasi DTaP, terutama jika kejang dapat dijelaskan secara memuaskan. Antikonvulsan profilaksis harus dipertimbangkan ketika memberikan DTaP ke anak-anak tersebut.
J.    Anak-anak dengan Gangguan neurologis yang Terselesaikan
Imunisasi DTaP dianjurkan untuk bayi dengan masalah neurologis tertentu yang telah jelas mereda atau telah diperbaiki, seperti neona-hypocalcemic tetani atau hidrosefalus (berikut penempatan shunt dan tanpa kejang).







BAB IV

PENUTUP


Tetanus berasal dari bahasa Yunani “Tetanos” yang berarti peregangan.
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan menetek di susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989).

4.1    ETIOLOGI

Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman tersebut terdapat ditanah, saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman clostridium tetani membuat spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin.

4.2     EPIDEMIOLOGI

Clostridium tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul, gram positip. Dapat bergerak dan membentuk sporaspora, terminal yang menyerupai tongkat penabuh genderang (drum stick). Spora spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan yang merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan dengan otoklaf.

4.3    TRANSMISI

Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Luka, baik besar ataupun kecil, menjadi jalan masuknya bakteri menyebab tetanus (Clostridium tetani), sekaligus menjadi tempatberkembang dan menghasilkan racun. Tetanus dapat mengikuti operasi elektif, luka bakar

4.4    PATOFISIOLOGI

Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk flex  dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan eflex jaringan akibat adanya nanah

4.5    PENCEGAHAN DAN FAKTOR RESIKO

1.            Faktor resiko Tetanus Neonatorum\
Tetanus neonatorum terjadi pada masa perinatal, antara umur 0 sampai 28 hari, terutama pada saat luka eflex tali pusat belum kering, sehingga spora C. tetani dapat mencemari dan berbiak menjadi kuman eflexee.
2.            Faktor Cara Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan sembilu, pisau cukur atau silet untuk memotong tali pusat tergantung pada pengertian masyarakat akan sterilitas. Setelah dipotong, tali pusat dapat disimpul erat-erat atau diikat dengan benang.

4.6    Penatalaksanaan

1)                                                                                             Penatalaksanaan medis
Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian antibiotik, menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
2)                                                                                             Penatalaksanaan keperawatan
Pasien tetanus neonatorum dalah pasien yang gawat, mudah terangsang kejang dan bila kejang selalu disertai sianosis. Spasme pada otot pernafasan sering menyebabkan pasien apneu. Spasme otot telan akan menyebabkan liur sering terkumpul didalam mulut dan dapat menyebabkan aspirasi. Oleh karena itu, pasien perlu diraw

4.7    Saran:


A.    Saran untuk mahasiswa
Semoga dapat memahami dan dimengerti dan di anjurkan agar mahasiswa mampu mengembangkan atau mengaplikasikan tentang apa ilmu yang didapatkan.
B.      Saran untuk institusi
Diharapkan agar makalah ini bisa sebagai bahan pembelajaran untuk mahasiswa di institusi.
C.     Saran untuk dosen
Semoga makalah ini bisa menjadi materi tambahan untuk dosen dan bisa mengevaluasi materi yang kami buat.

DAFTAR PUSTAKA
Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta

Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta

Santosa NI, 1989, Perawatan I (Dasar-Dasar Keperawatan), Depkes RI, Jakarta.
Sidhartani Zain. (1981), Ilmu Kesehatan  Anak Untuk Perawat, Ikip Semarang,  Semarang.

Suharso Darto, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, F.K. Universitas Airlangga, Surabaya.Dr.

Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.


Puji syukur kami  panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami  dapat menyelesaikan penyusunan makalah asuhan neonatus bayi dan balita dapat di selesaikan tepat waktu.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok yang diberikan oleh dosen mata kuliah asuhan neonatus
Dalam  penyusunan makalah ini kami  menggunakan metode pustaka. Dimana pengumplan data diperoleh dari berbagai macam sumber  buku bahan untuk dijadikan suatu makalah.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan  makalah  ini. Kami  akui makalah  ini masih  jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.



Indramayu, 18 november 2014



Penyusun

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii

ii
 
 

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 29

iii
 
 

0 comments