BAB I
PENDAHULUAN
1.1 DEFINISI
Tetanus
berasal dari kata eflex (Yunani) yang berarti peregangan. Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh
neurofoksin yang dihasilkan oleh clostridium tetani yang ditandai dengan spasme
otot yang periodik dan berat.
Tetanus berasal dari bahasa Yunani “Tetanos” yang berarti
peregangan.
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan menetek di susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989).
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan menetek di susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989).
Tetanus neonatorum adalah kejang-kejang yang dijumpai pada BBL
yang bukan karena trauma, kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh
infeksi selama masa neonatal yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan
tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih. (Ngastijah,
1987).
Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan
kejang otot, tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin
kuman closteridium tetani. Tetanus neonatorim adalah suatu penyakit infeksi
yang di sebabkan oleh kuman,clostridium tetani.
Tetanus neonatorium merupakan penyebab kejang yang sering di
jumpai pada BBL yang di sebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara
lain terjadi sebagai akibat pemotogan tali pusat atau perawatan tidak aseptik.
Tetanus neonatorum adalah:merupakan penyakit pada bayi baru lahir
yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi
masuknya kuman tetanus melalui luka tali pusat
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada
neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh Clastridium Tetani,
yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun yang menyerang sistem saraf pusat).
Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan
kejang otot, tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin
kuman closteridium tetani.
1.2 TUJUAN
1. Tujuan umum:
Untuk membantu memperoleh informasi
mengenai penyakit tetanus pada bayi dan balita dan dapat mengetahui penyakit
tetanus pada bayi dan balita, memahami penyakit tetanus pada bayi serta
menambah wawasan tentang penyakit tetanus pada bayi dan balita dalam
melaksanakan asuhan neonatus pada bayi dan balita yang mengalami penyakit
tetanus.
2. Tujuan khusus :
a. Untuk mengetahui definisi penyakit tetanus
neonatorum
b. Untuk mengetahui etiologi penyakit tetanus
neonatorum
c. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit
tetanus
neonatorum
d. Untuk mengetahui transmisi penyakit tetanus neonatorum
e. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit tetanus neonatorum
f.
Untuk mengetahui manifestasi klinis penyakit tetanus neonatorum
g.
Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic penyakit
tetanus neonatorum
h.
Untuk mengetahui pencegahan dan factor resiko
penyakit tetanus neonatorum
i.
Untk mengetahui peatalaksanaan penyakit tetanus
neonatorum.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 DEFINISI
Tetanus berasal dari kata eflex
(Yunani) yang berarti peregangan. Tetanus adalah
suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurofoksin yang dihasilkan oleh
clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot yang periode dan berat.
Tetanus berasal
dari bahasa Yunani “Tetanos” yang berarti peregangan.
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan menetek di susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989).
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan menetek di susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989).
Tetanus neonatorum adalah
kejang-kejang yang dijumpai pada BBL yang bukan karena trauma, kelahiran atau
asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal yang antara lain
terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak
bersih. (Ngastijah,
1987).
Tetanus adalah penyakit
infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa disertai gangguan
kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium tetani. Tetanus
neonatorim adalah suatu penyakit infeksi yang di sebabkan oleh
kuman,clostridium tetani.
Tetanus neonatorium
merupakan penyebab kejang yang sering di jumpai pada BBL yang di sebabkan oleh
infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotogan
tali pusat atau perawatan tidak aseptik.
Tetanus neonatorum adalah:merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi masuknya kuman tetanus melalui luka tali pusat
Tetanus neonatorum adalah:merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi masuknya kuman tetanus melalui luka tali pusat
Tetanus neonatorum adalah
penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang
disebabkan oleh Clastridium Tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun
yang menyerang sistem saraf pusat).
Tetanus adalah penyakit
infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa disertai gangguan
kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium tetani.
2.2 ETIOLOGI
Penyakit tetanus neonatorum
disebabkan oleh bakteri closiridium tetani, yang merupakan organisme ibligat
anacrob (tidak membutuhkan oksigen). Biasanya datangnya bakteri disebabkan
infeksi selama masa neonatan, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali
pusat atau perawatan tidak aseptik, dan proses partus yang kurang steril.
Faktor Penyebab penyakit tetanus neonatorum
a) Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat juga
seringkali meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian
ini masih lagi berlaku di negara-negara berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan
pertolongan persalinan masih menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau
sembilu untuk memotong tali bayi baru lahir.
b) Cara perawatan tali pusat dengan teknik tradisional seperti
menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat dengan kunyit dan abu dapur,
kemudian tali pusat tersebut dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang
tidak steril, serta tempat pelayanan persalinan yang tidak bersih dan steril.
c) Kekebalan ibu terhadap tetanus, merupakan faktor-faktor yang
berperan untuk meningkatkan risiko terjadinya neonatus neonatorum.
2.3 EPIDEMIOLOGI
Clostridium tetani berbentuk
batang langsing, tidak berkapsul, gram positip. Dapat bergerak dan membentuk
sporaspora, terminal yang menyerupai tongkat penabuh genderang (drum stick).
Spora spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan yang merugikan
termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan dengan otoklaf.
Kuman ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah, asalkan tidak terpapar
sinar matahari, selain dapat ditemukan pula dalam debu, tanah, air laut, air
tawar dan traktus digestivus manusia serta hewan.
Clostridium tetani terdapat
di tanah dan traktus digestivus manusia serta hewan.kuman ini dapat membuat
spora yang tahan lama dan berkembang biak dalam luka kotor atau jaringan
nekrotik yang mempunyai suasana aerobic.Pada bayi penyakit ini di tularkan
biasanya melalui talipusat,yaitu karena pemotongan talipusat dengan alat yang
tidak steril.selain itu infeksi dapat juga melalui pemakaian oba,bubuk atau
daun-daun yang di gunakan dalam perawatan talipusat.
Penyakit ini masih banyak
terdapat di Indonesia dan Negara-negara lain yang sedang
berkembang.mortalitasnya sangat tinggi karena biasanya baru mendapat
pertolongan bila keadaan bayi sudah gawat.Penanganan yang sempurna memegang
peranan yang penting dalam menurunkan angka mortalitas.
2.4 TRANSMISI
Tetanus tidak ditularkan
dari orang ke orang. Luka, baik besar ataupun kecil, menjadi jalan masuknya
bakteri menyebab tetanus (Clostridium
tetani), sekaligus menjadi tempatberkembang dan menghasilkan racun. Tetanus
dapat mengikuti operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka
menghancurkan, otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan
kehamilan.
Pengguna heroin, terutama
mereka yang menggunakan jarum suntik secara subkutan dengan kina-potong heroin,
berisiko tinggi terkena tetanus. Kina digunakan untuk mencairkan heroin dan
benar-benar dapat mendukung pertumbuhan bakteri Clostridium tetani.
Selama 1998-2000, cedera
akut atau luka seperti tusukan, laserasi, dan lecet menyumbang 73% dari kasus
dilaporkan tetanus pada rakyat AS yang bekerja di bidang yang mempunyai risiko
untuk tertusuk, luka, dan lecet. (7)
2.5 PATOFISIOLOGI
Spora yang masuk dan berada
dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk flex dan berbiak sambil
menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan
potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan eflex jaringan akibat
adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara
intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai
dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan
elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam
sungsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk
sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada
daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan
menimbulkan kekakuan.
a.
Efek Toxin
pada :
Tetanus Neonatorum Ganglion
pra sumsum tulang belakang :
Memblok sinaps jalur
antagonist, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus ototnya
meningkat dan otot menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi eflexe
dari neurons yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat
terangsang. Depolarisasi yang berkaitan dengan jalur rangsangan tidak
terganggu. Toksin menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory transmitter dan
menekan pengaruh bahan ini pada eflexe neuron motorik.
b.
Tetanus
Neonatorum Otak
Toxin yang menempel pada
cerebral gangliosides diduga menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas
pada tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.
c.
Tetanus
Neonatorum Saraf otonom
Terutama mengenai saraf
simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, eflexeea, hypotensi,
hypertensi, arytmia cardiac block atau takhikardia. Sekalipun otot yang terkena
adalah otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang
besar-besar, pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul
manifestasi klinik seperti disebutkan diatas.
Sedangkan pada tetanus
neonatorum luka yang terjadi akibat pemotongan tali pusat dengan alat-alat yang
tidak steril atau perawatan tali pusat yang salah. Dimana clostridium tetani
masuk ke dalam tubuh melalui luka. Pada neonatus/bayi baru lahir clostridium
tetani dapat masuk melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa
memperhatikan kaidah asepsis antisepsis.
Bentuk spora akan berubah
menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk berubah bentuk
dan kemudian mengeluarkan eksotoksin. Kuman tetanus sendiri tetap tinggal di
daerah luka. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Toksin ini diabsorpsi oleh organ saraf di ujung
saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan
saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat
dinetralkan lagi.
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik tetanus
neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang primitifpun mampu mengenalinya
sebagai “penyakit hari kedelapan” (Jaffari, Pandit dan Ismail 1966). Anak yang
semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari ketiga menunjukan gejala
klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan kesulitan menetek, risus
sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas
pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari
otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan
kaku (Athvale, dan Pai, 1965, Marshall, 1968). Bentukan mulut menjadi mecucu
(Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali lemas setelah kejang
dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang menjadi makin
sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas (Irwantono, Ismudijanto dan MF
Kaspan 1987).
Kekakuan pada tetanus sangat
khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada
jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak. Kekakuan dimulai pada
otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa
disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku, bengkok (flexi)
pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi,
sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali
menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.
1.
Gambaran
Umum pada Tetanus Neonatorum
a.
Trismus
(lock-jaw, clench teeth)
Adalah mengatupnya rahang
dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan otot mengunyah (masseter)
sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan
secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak
sejelas pada anak, karena kekakuan pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut
kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut “mecucu”
seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tak
b.
Dapat
menetek.
c.
Risus
Sardonicus (Sardonic grin)
Terjadi akibat kekakuan
otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutup
sudut mulut keluar dan
kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi
yang dalam.
d.Opisthotonus
Kekakuan otot-otot yang
menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya.
Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu
pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya
tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut. Pada era sebelum
diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada tulang vertebra.
e.
Otot
dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain otot dinding
perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga penderita merasakan
keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai
timbulnya perdarahan paru (pada eflexe) atau bronchopneumonia.
f.
Bila
kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya terjadi
setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara
kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun “masa istirahat”
kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.
g.
Pada
tetanus yang berat akan terjadi :
Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh
karena spasme otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.
Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan
sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradycardi,
tachycardia, atau kelainan pembuluh darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan
suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis).
Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan
eflexealvi atau retention urinae. Patah tulang panjang (tulang paha) dan
fraktur kompresi tulang belakang.
Masa inkubasi 3 – 28 hari, dengan rata-rata 6 hari. Bila kurang
dari 7 hari, biasanya penyakit lebih parah dan angka kematiannya tinggi.
Kategori
|
Tetanus Neonatorum Sedang
|
Tetanus Neonatorum Berat
|
Umur bayi
|
> 7 hari
|
0 – 7 hari
|
Frekuensi kejang
|
Kadang-kadang
|
Sering
|
Bentuk kejang
|
Mulut mencucu,
Trismus kadang,
Kejang rangsang (+)
|
Mulut mencucu,
Trismus terus-menerus,
Kejang rangsang (+)
|
Posisi badan
|
Opistotonus kadang-kadang
|
Selalu opistotonus
|
Kesadaran
|
Masih sadar
|
Masih sadar
|
Tanda-tanda infeksi
|
Tali pusat kotor,
Lubang telinga kotor/bersih
|
Tali pusat kotor,
Lubang telinga kotor/bersih
|
2.7 PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat,
pemeriksaannya meliputi:
1.
Darah
·
Glukosa
Darah:Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
·
BUN:Peningkatan
BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari
pemberian obat.
·
Elektrolit:K,
Na Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
·
Kalium ( N
3,80 – 5,00 meq/dl ) Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2.
Skull
Ray:Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
3.
EEG:Teknik
untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
Bila di Rumah Sakit :
1.
Umur lebih
dari 24 jam ditambah bikar bonas Natrikus 1,5 %
2.
Dosis anti
kejang IV dengan dosis rumat
3.
Diazepam
8-10 mg/ kg IV diganti tiap 6 jam
4.
Ais 10.000
u/ hari i.m
5.
Ampisilin
100 mg/ kg IV atau prokain penisilin 50.000 u/ kg i.m selama 3 hari
6.
Ruang
perawatan tenang
Factor resiko untuk terjadinya tetanus neonatorum :
1.
Pemberian
imunisasi tetanus toksoid (TT) pada ibu hamil tidak dilakukan, atau tidak
lengkap, atau tidak sesuai dengan ketentuan program.
2.
Pertolongan
persalinan tidak memenuhi syarat-syarat “3 bersih”
3.
Perawatan
tali pusat tidak memenuhi persyaratan kesehatan.
Kekebalan terhadap hanya
dapat diperoleh melalui imunisasi TT. TT akan merangsang pembentukan antibody
spesifik yang mempunyai peranan penting dalam perlindungan tetanus. Ibu hamil
yang mendapat TT didalam tubuhnya akan membentuk antibody tetanus seperti
difteri, antibody tetanus termasuk dalam golongan IgG yang mudah melewati sawar
placenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh tubuh janin,
yang akan mencegah terjadinya tetanus neonatorum.
Imunisasi TT pada ibu hamil
diberikan 2x (2 dosis). Jarak pemberian TT pertama dan kedua, serta jarak
antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat menentukan kadar antibody tetanus
dalam darah bayi. Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan kedua
dengan kelahiran bayi, maka kadar antibody tetanus dalam darah bayi akan
semakin tinggi, karena interval yang panjang akan mempertinggi respon imunologi
dan diperoleh cukup waktu untuk menyebarkan antibody tetanus dalam jumlah yang
cukup dari tubuh ibu hamilketubuh bayinya.
Imunisasi TT opada kehamilan
sedini mungkin akan memberikan cukup waktu antara dosis pertama dan dosis ke
dua, serta antara dosis kedua dengan saat kehamilan. Interval imunisasi TT abis
pertama dengan dosis kedua minimal 4 minggu.
TT adalah antigen yang
sangat aman dan juga aman untuk wanita hamil. Tidak ada bahaya bagi janin
apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT.
Pada ibu hamil yang
mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan perbedaan risiko catat bawaan atau
pun abortus dengan mereka yang tidak mendapatkan imunisasi.
2.8 PENCEGAHAN DAN
FAKTOR RESIKO
1.
Faktor
resiko Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum terjadi
pada masa perinatal, antara umur 0 sampai 28 hari, terutama pada saat luka
eflex tali pusat belum kering, sehingga spora C. tetani dapat mencemari dan
berbiak menjadi kuman eflexee.
Menurut Foster, (1983) serta Sub Dinas PPM Propinsi Jawa Timur,
(1989) Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Merupakan flex yang menentukan kepadatan kuman dan tingginya
tingkat pencemaran spora di lingkungannya. Risiko akan hilang bila lahan
pertanian dan peternakan diubah penggunaannya.
a)
Faktor Cara
Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan sembilu, pisau cukur atau silet untuk memotong tali
pusat tergantung pada pengertian masyarakat akan sterilitas. Setelah dipotong,
tali pusat dapat disimpul erat-erat atau diikat dengan benang. Penolong
persalinan biasanya lebih memusatkan perhatian pada ”kelahiran” plasenta dan
perdarahan ibu.
b)
Faktor Cara
Perawatan Tali Pusat
Tata cara perawatan perinatal sangat berkaitan erat dengan hasil
interaksi antara tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi masyarakat dan adanya
pelayanan kesehatan di lingkungan sekitarnya. Masyarakat di banyak daerah masih
menggunakan daun-daun, ramuan, serbuk abu dan kopi untuk pengobatan luika eflex
tali pusat. Kebiasaan ini tidak dapat dihilangkan hanya dengan pendidikan dukun
bayi saja.
c)
Faktor
Kebersihan Pelayanan Persalinan
Merupakan interaksi antara kondisi setempat dengan tersedianya
pelayanan kesehatan yang baik di daerah tersebut yang menentukan subyek
penolong persalinan dan kebersihan persalinan. Untuk daerah terpencil yang
belum terjangkau oleh pelayanan persalinan yang higienis maupun daerah
perkotaan yang biaya persalinannya tak terjangkau oleh masarakat, peranan dukun
bayi (terlatih atau tidak) maupun penolong lain sangatlah besar. Pelatihan
dukun bayi dapat menurunkan kematian perinatal namun tidak berpengaruh pada
kejadian tetanus neonatorum.
Masih banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya (25 sampai
60%) dan lebih banyak lagi yang persalinannya tidak ditolong oleh tenaga medis
(70%) sehingga resiko tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar.
d)
Faktor
Kekebalan Ibu Hamil
Merupakan eflex yang sangat penting. Antibodi antitetanus dalam
darah ibu
e)
Hamil yang
dapat disalurkan pada bayinya dapat mencegah manifestasi klinik
infeksi
dengan kuman C. tetani (Suri, dkk,1964). Suntikan tetanus toksoid 1 kalipun
dapat mengurangi kematian tetanus neonatorum dari 70-78 per 1000 kelahiran
hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup (Newell, 1966, Black,
2.9 PENCEGAHAN
1) Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap
serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat
tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di
imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ia sembuh
dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang
pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya
bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini
tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).(2)
2) Vaksinasi adalah cara pencegahan terbaik terhadap tetanus. Komite
Penasehat untuk Praktik Imunisasi (ACIP) merekomendasikan bahwa semua anak
menerima serangkaian rutin dari 5 dosis difteri dan vaksin tetanus pada usia 2,
4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. Dosis booster difteri dan tetanus toxoid
harus diberikan dimulai pada usia 11-12 tahun (minimal 5 tahun sejak dosis
terakhir) dan diulangi setiap 10 tahun sesudahnya. Saat ini, DTaP dan DT harus
digunakan pada orang kurang dari tujuh tahun, sedangkan Td diberikan kepada
mereka yang berusia tujuh tahun atau lebih. Jadwal catch-up imunisasi Td bagi
mereka dimulai pada usia tujuh tahun atau lebih terdiri dari tiga dosis. Dosis
kedua biasanya diberikan 1-2 bulan setelah dosis pertama, dan dosis ketiga
diberikan 6 bulan setelah dosis kedua. Aselular formulasi vaksin pertusis bagi
remaja dan orang dewasa yang berlisensi dan dikombinasikan dengan difteri dan
tetanus-toxoid. Jadwal yang disarankan untuk Tdap belum ditentukan, tetapi
vaksin ini harus diterima dalam kondisi yang tepat. (1,9)
3) Untuk pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah pencegahan,
selain imunisasi ibu, adalah program imunisasi untuk gadis remaja dan wanita usia
subur serta pelatihan yang tepat bidan dalam rekomendasi untuk imunisasi dan
teknik aseptik dan pengendalian infeksi.
Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan untuk mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah 1) pertolongan persalinan yang aman dan bersih; 2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan merata; dan 3) penyelenggaraan surveilans. Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada wanita usia subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum optimal, pencatatan yang dimulai dari kohort WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan cakupan imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan imunisasi TT2 selama tahun 2003-2007 tidak mengalami perkembangan, bahkan cenderung menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan imunisasi TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008, kemudian meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009). (3)
Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan untuk mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah 1) pertolongan persalinan yang aman dan bersih; 2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan merata; dan 3) penyelenggaraan surveilans. Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada wanita usia subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum optimal, pencatatan yang dimulai dari kohort WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan cakupan imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan imunisasi TT2 selama tahun 2003-2007 tidak mengalami perkembangan, bahkan cenderung menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan imunisasi TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008, kemudian meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009). (3)
4) Data dari WHO menunjukkan bahwa, dari tahun ke tahun cakupan
imunisasi DTP3 mengalami kenaikan. Semakin tingginya cakupan imunisasi, baik
imunisasi DTP3 maupun TT2, menunjukkan penurunan pada terjadinya kasus tetanus,
tetanus neonatorum.
2.10 Jadwal
pemberian imunisasi:
1.
Bayi dan
Anak Normal
Imunisasi harus dimulai pada awal masa bayi dan memerlukan empat
suntikan DTaP diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 15-18 bulan.
Dosis pertama diberikan pada usia 4-6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis
pertama (usia 14-16 tahun), suntikan Td, yang berisi dosis
yang sama tetanus toksoid sebagai DTP dan dosis difteri toxoid yang dikurangi,
harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup individu dalam
peristiwa yang tidak ada reaksi signifikan untuk DTP atau Td.
2.
Bayi dan
Anak Normal Usia Tujuh Bulan yang tidak Mendapat Imunisasi di Awal
DTP harus diberikan pada kunjungan pertama dan 2 dan 4 bulan
setelah injeksi pertama. Dosis keempat harus diberikan 6-12 bulan setelah
terlebih dulu injeksi pertama. Dosis pertama diberikan antara 4 dan 6 tahun.
Sepuluh tahun setelah dosis pertama (14-16 tahun), suntikan Td harus diberikan
dan diulang setiap 10 tahun di seluruh. Prasekolah dosis tidak diperlukan jika
dosis keempat dari DTP merupakan diberikan setelah ulang tahun keempat.
3.
Anak Usia
Tujuh Tahun atau Lebih yang Belum diimunisasi
Imunisasi memerlukan setidaknya tiga suntikan Td. Suntikan
harus diberikan pada kunjungan pertama , 4-8 minggu setelah bulan pertama
Td, dan 6-12 setelah Td kedua. Td suntikan harus berulang setiap 10 tahun
sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi yang signifikan untuk Td.
4.
Wanita
hamil yang belum Diimunisasi
Neonatal tetanus dapat dicegah dengan imunisasi aktif dari ibu
hamil. Wanita hamil yang belum diimunisasi harus menerima dua dosis Td sebelum
persalinan, sebaiknya selama dua trimester terakhir, diberikan 2 bulan
terpisah. Sebelum ada bukti bahwa tetanus dan difteri toxoid yang
teratogenik. Setelah melahirkan, sang ibu harus diberi dosis ketiga Td 6 bulan
setelah dosis kedua untuk melengkapi imunisasi aktif. Td suntikan harus diulang
setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi signifikan
terhadap Td. Jika neonatus yang ditanggung oleh seorang ibu yang belum
diimunisasi tanpa perawatan kebidanan, bayi harus menerima 250 unit TIG
manusia. TIG adalah solusi dari gamma globulin disiapkan dari darah vena
manusia, hyperimmunized dengan tetanus toksoid.
5.
Anak di
bawah Tujuh Bulan dengan Kontraindikasi untuk Vaksinasi Pertusis
6.
DT (untuk
penggunaan pediatrik) lebih baik digunakan daripada DTaP. Anak di bawah 1 tahun
menerima imunisasi DT sebanyak 4 kali. Tiga dosis pertama diberikan dengan
interval 4-8 minggu dan dosis keempat 6-12 bulan kemudian. Jika dosis vaksin
pertusis menjadi kontraindikasi setelah mulai DTaP di tahun pertama kehidupan
anak, DT harus diganti dengan DTaP di jadwal yang tersisa.
7.
Bayi dengan
Penyakit Neurologis
a.
Bayi yang
memiliki atau diduga memiliki penyakit neurologis, pemberian imunisasi DTaP
atau DT ditunda sampai observasi lebih lanjut dan status neurologis anak
telah jelas. Tapi, imunisasi DTaP atau DT dilakukan selambat-lambatnya anak
berusia satu tahun.
8.
Bayi Dengan
Gangguan Neurologis sementara Berkaitan dengan DTaP Vaksinasi
Bayi dan anak-anak yang mengalami kejang dalam waktu 3 hari sejak
diterimanya DTaP atau ensefalopati dalam 7 hari tidak boleh menerima vaksin
pertusis, bahkan meskipun penyebab dan akibat mungkin tidak bisa dimunculkan.
9.
Anak-anak
dengan Gangguan Neurologis tidak Diimunisasi dengan Lengkap
Jika kejang atau gangguan lainnya terjadi sebelum ulang tahun
pertama dan penyelesaian terlebih dulu tiga dosis utama serangkaian DTaP, dosis
lebih lanjut DTaP atau DT dianjurkan sampai status bayi telah jelas.
10.
Bayi dan
Anak-anak dengan Kondisi Neurologis Stabil
Bayi dan anak-anak dengan kondisi neurologis yang stabil, termasuk
kejang terkendali dengan baik, dapat divaksinasi. Terjadinya kejang
tunggal (terkait dengan DTaP) pada bayi dan anak kecil, sementara yang
memerlukan evaluasi, tidak perlu imunisasi DTaP, terutama jika kejang dapat
dijelaskan secara memuaskan. Antikonvulsan profilaksis harus dipertimbangkan
ketika memberikan DTaP ke anak-anak tersebut.
11.
Anak-anak
dengan Gangguan neurologis yang Terselesaikan
Imunisasi DTaP dianjurkan untuk bayi dengan masalah neurologis
tertentu yang telah jelas mereda atau telah diperbaiki, seperti
neona-hypocalcemic tetani atau hidrosefalus (berikut penempatan
shunt dan tanpa kejang).
2.11 PENATALAKSANAAN
1.
Penatalaksanaan
1)
Penatalaksanaan
medis Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian
antibiotik, menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat
dijabarkan sebagai berikut :
a.
Diberikan
cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis dalam
perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan
obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang
atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam
perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah
dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde,
melalui infus diberikan tambahan protein dan kalium.
b.
Diazepam
dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan
dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam cairan
infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh
ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam
berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5 mg/kgBB/hari sehingga dosis
diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis
membaik, diazepam diberikan peroral dan diurunkan secara bertahap. Pada pasien
dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per
oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena.
c.
ATS 10.000
U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan
20.000 U sekaligus.
d.
Ampisilin
100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari. Bila pasien
menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak
dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis
bakterialis.
e.
Tali pusat
dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%.
f.
Perhatikan
jalan napas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.
2) Penatalaksanaan keperawatan
Pasien tetanus neonatorum
dalah pasien yang gawat, mudah terangsang kejang dan bila kejang selalu
disertai sianosis. Spasme pada otot pernafasan sering menyebabkan pasien apneu.
Spasme otot telan akan menyebabkan liur sering terkumpul didalam mulut dan
dapat menyebabkan aspirasi. Oleh karena itu, pasien perlu dirawat dikamar yang
tenang tetapi harus terang (untuk memudahkan pengawasan pada bayi, dan bila
terjadi apneu agar segera dapat dilakukan tindakan. Dahulu kamar tetanus selalu
gelap). Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan
pernafasan, kebutuhan nutrisi/cairan, dan kurangnya pengetahuan orang tua
mengenai penyakit.
Tiindakan pada pasien tetanus neonatorum pada saat kejang.
Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah bahunya.
Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1-2 L/menit jika sedang terjadi kejang karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat samapi 4L/menit ( jika kejang telah berhenti turunkan lagi).
Tiindakan pada pasien tetanus neonatorum pada saat kejang.
Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah bahunya.
Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1-2 L/menit jika sedang terjadi kejang karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat samapi 4L/menit ( jika kejang telah berhenti turunkan lagi).
Pada saat kejang, pasangkan
sudip lidah untuk mencegah lidah jatuh lebih baik dipasang terus.
Sering isap lender, yakni
pada saat kejang, jika akan melakukan napas buatan pada saat apneu dan sewaktu
– waktu terlihat lender pada mulut bayi.
Observasi tanda vital secara
kontinu setiap 1⁄2 jam dan catat secara cermat. Pasien tetanus neonatorum
karena mendapatkan antikonvulsan terus kemungkinan sewaktu – waktu dapat
terjadi apneu.
Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat (pasang selubung tempat tidur/kain disekeliling tempat tidur karena selama payah bayi sering dalam keadaan telanjang, maksudnya agar memudahkan pengawasan pernafasannya). Bil bayi kedinginan juga dapat menyebabkan apneu.
Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat (pasang selubung tempat tidur/kain disekeliling tempat tidur karena selama payah bayi sering dalam keadaan telanjang, maksudnya agar memudahkan pengawasan pernafasannya). Bil bayi kedinginan juga dapat menyebabkan apneu.
Tindakan pada bayi apneu.
Isap lendirnya sampai bersih
(dari mulut juga hidung)
O2 dberikan lebih besar (dapat sampai 4L/menit)
Letakkan bayi diatas tempat tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan – tekan bagian iktus jantung ditengah – tengah tulang dada dengan dapat juga dilakukan dengan kedua ibu jari diatas dada bayi dan delapan jari dibawah punggungnya dengan frekuensi sama.
Bahaya terjadinya gangguan pernafasan . gangguan pernafasan yang sering terjadi adalah apneu, yang disebabkan adanya tetanospasmin yang menyerang otot – otot pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi . adanya spasme pada otot faring menyebabkan terkumpulnya liur didalam rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya pneumonia aspirasi. Adanya lender di tenggorok juga menghalangi kelancaran lalu – lintas udara (pernafasan). Pasien tetanus neonaorum setiap kejang selalu disertai sianosis dan frekuensi kejang biasanya sering sehingga pasien akan terlihat sianosis terus – menerus. Tindakan yang perlu dilakukan.
O2 dberikan lebih besar (dapat sampai 4L/menit)
Letakkan bayi diatas tempat tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan – tekan bagian iktus jantung ditengah – tengah tulang dada dengan dapat juga dilakukan dengan kedua ibu jari diatas dada bayi dan delapan jari dibawah punggungnya dengan frekuensi sama.
Bahaya terjadinya gangguan pernafasan . gangguan pernafasan yang sering terjadi adalah apneu, yang disebabkan adanya tetanospasmin yang menyerang otot – otot pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi . adanya spasme pada otot faring menyebabkan terkumpulnya liur didalam rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya pneumonia aspirasi. Adanya lender di tenggorok juga menghalangi kelancaran lalu – lintas udara (pernafasan). Pasien tetanus neonaorum setiap kejang selalu disertai sianosis dan frekuensi kejang biasanya sering sehingga pasien akan terlihat sianosis terus – menerus. Tindakan yang perlu dilakukan.
Dewasa ini, di subbagian
anak RSCM Jakarta pemberian diazepam pada bayi dengan tetanus neonatorum
diberikan melalui drip dengan menggunakan mikrodrip (mikrodrip ialah tabung
yang hanya berisi 100 ml dan setiap ml berisi 60 tetes). Pada bayi tetanus yang
payah biasanya dipasang 2 tabung mikrodrip untuk pemberian cairan biasa dan
yang lain khusus untuk diazepam. Cairan yang diberikan adalah glukosa 10% dan
bikarbonas natrikus 11⁄2%). Jika tidak menggunakan mikrodrip tetesan harus
pelan sekali. Dalam keadaan bayi tidak banyak kejang, diazepam dimasukkan
kedalam 100 ml cairan sebanyak dosis yang diperlukan dan diharapkan dapat habis
dalam 24 jam seterusnya diganti lagi. Tetapi jika bayi banyak kejang
(frekuensinya sering sekali) diazepam dimasukkan kedalam 50 ml cairan
tetesannya lebih dipercepat dan diganti setiap 6 jam (tetesan kira – kira 8
tetes permenit).
Kebutuhan nutrisi/cairan. Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadannya payah, untuk memenuhi kebutuhan makanannya perlu diberi infuse dengan cairan glukosa 10%. Tetapi karena bayi juga sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 11⁄2% dengan perbandingan 4:1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian makanan dapat diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara bertahap.
Kebutuhan nutrisi/cairan. Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadannya payah, untuk memenuhi kebutuhan makanannya perlu diberi infuse dengan cairan glukosa 10%. Tetapi karena bayi juga sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 11⁄2% dengan perbandingan 4:1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian makanan dapat diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara bertahap.
2.12 PENYEBAB
Penyakit tetanus neonatorum
disebabkan oleh bakteri closiridium tetani, yang merupakan organisme ibligat
anacrob (tidak membutuhkan oksigen). Biasanya datangnya bakteri disebabkan
infeksi selama masa neonatan, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat
atau perawatan tidak aseptik, dan proses partus yang kurang steril.
Faktor Penyebab
penyakit tetanus neonatorum
- Penggunaan alat yang tidak
steril untuk memotong tali pusat juga seringkali meningkatkan risiko
penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku di
negara-negara berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan
persalinan masih menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu
untuk memotong tali bayi baru lahir.
- Cara perawatan tali pusat
dengan teknik tradisional seperti menggunakan ramuan untuk menutup luka
tali pusat dengan kunyit dan abu dapur, kemudian tali pusat tersebut
dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril, serta tempat
pelayanan persalinan yang tidak bersih dan steril.
- Kekebalan ibu terhadap
tetanus, merupakan faktor-faktor yang berperan untuk meningkatkan risiko
terjadinya neonatus neonatorum.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 PENGERTIAN
Tetanus berasal dari kata eflex (Yunani) yang
berarti peregangan. Tetanus adalah suatu toksemia akut
yang disebabkan oleh neurofoksin yang dihasilkan oleh clostridium tetani yang
ditandai dengan spasme otot yang periode dan berat.
3.2 PENCEGAHAN
Seorang penderita yang terkena tetanus
tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila
terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak
terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang
masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin (
kaena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun
dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang
adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).(2)
Vaksinasi adalah cara pencegahan terbaik
terhadap tetanus. Komite Penasehat untuk Praktik
Imunisasi (ACIP) merekomendasikan bahwa semua anak menerima serangkaian rutin
dari 5 dosis difteri dan vaksin tetanus pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6
tahun. Dosis booster difteri dan tetanus toxoid harus diberikan dimulai pada
usia 11-12 tahun (minimal 5 tahun sejak dosis terakhir) dan diulangi setiap 10
tahun sesudahnya. Saat ini, DTaP dan DT harus digunakan pada orang kurang dari
tujuh tahun, sedangkan Td diberikan kepada mereka yang berusia tujuh tahun atau
lebih. Jadwal catch-up imunisasi Td bagi mereka dimulai pada usia tujuh tahun
atau lebih terdiri dari tiga dosis. Dosis kedua biasanya diberikan 1-2 bulan
setelah dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis kedua. Aselular
formulasi vaksin pertusis bagi remaja dan orang dewasa yang berlisensi dan
dikombinasikan dengan difteri dan tetanus-toxoid. Jadwal yang disarankan untuk
Tdap belum ditentukan, tetapi vaksin ini harus diterima dalam kondisi yang
tepat. (1,9)
Untuk pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah
pencegahan, selain imunisasi ibu, adalah program imunisasi untuk gadis remaja
dan wanita usia subur serta pelatihan yang tepat bidan dalam rekomendasi untuk
imunisasi dan teknik aseptik dan pengendalian infeksi.
Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE)
merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan wanita usia subur
termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan untuk mengeliminasi tetanus
neonatorum dan maternal adalah 1) pertolongan persalinan yang aman dan
bersih; 2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan merata; dan 3)
penyelenggaraan surveilans. Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus Toksoid
(TT) pada wanita usia subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum optimal,
pencatatan yang dimulai dari kohort WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak
hamil) belum seragam, dan cakupan imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari
cakupan K4. Cakupan imunisasi TT2 selama tahun 2003-2007
tidak mengalami perkembangan, bahkan cenderung menurun. Namun
sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan imunisasi TT2+, dari 26%
pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008, kemudian meningkat lagi menjadi
62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009). (3)
Data dari WHO menunjukkan bahwa, dari tahun ke tahun
cakupan imunisasi DTP3 mengalami kenaikan. Semakin tingginya cakupan imunisasi,
baik imunisasi DTP3 maupun TT2, menunjukkan penurunan pada terjadinya kasus
tetanus, tetanus neonatorum.
Jadwal pemberian imunisasi:
A.
Bayi dan
Anak Normal
Imunisasi harus dimulai pada awal masa
bayi dan memerlukan empat suntikan DTaP diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6
bulan, dan 15-18 bulan. Dosis pertama diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelah dosis pertama (usia 14-16 tahun), suntikan
Td, yang berisi dosis yang sama tetanus toksoid sebagai DTP dan dosis
difteri toxoid yang dikurangi, harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun
sepanjang hidup individu dalam peristiwa yang tidak ada reaksi signifikan untuk
DTP atau Td.
B.
Bayi dan
Anak Normal Usia Tujuh Bulan yang tidak Mendapat Imunisasi di Awal
DTP harus diberikan pada kunjungan
pertama dan 2 dan 4 bulan setelah injeksi pertama. Dosis keempat harus
diberikan 6-12 bulan setelah terlebih dulu injeksi pertama. Dosis pertama
diberikan antara 4 dan 6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama (14-16
tahun), suntikan Td harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun di seluruh.
Prasekolah dosis tidak diperlukan jika dosis keempat dari DTP merupakan
diberikan setelah ulang tahun keempat.
C.
Anak Usia
Tujuh Tahun atau Lebih yang Belum diimunisasi
Imunisasi memerlukan setidaknya tiga
suntikan Td. Suntikan harus diberikan pada kunjungan pertama , 4-8 minggu
setelah bulan pertama Td, dan 6-12 setelah Td kedua. Td suntikan harus
berulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi yang
signifikan untuk Td.
D.
Wanita
hamil yang belum Diimunisasi
Neonatal tetanus dapat dicegah dengan
imunisasi aktif dari ibu hamil. Wanita hamil yang belum diimunisasi harus
menerima dua dosis Td sebelum persalinan, sebaiknya selama dua trimester
terakhir, diberikan 2 bulan terpisah. Sebelum ada bukti bahwa tetanus dan
difteri toxoid yang teratogenik. Setelah melahirkan, sang ibu harus diberi
dosis ketiga Td 6 bulan setelah dosis kedua untuk melengkapi imunisasi aktif.
Td suntikan harus diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak
ada reaksi signifikan terhadap Td. Jika neonatus yang ditanggung oleh
seorang ibu yang belum diimunisasi tanpa perawatan kebidanan, bayi harus
menerima 250 unit TIG manusia. TIG adalah solusi dari gamma globulin disiapkan
dari darah vena manusia, hyperimmunized dengan tetanus toksoid.
E.
Anak di
bawah Tujuh Bulan dengan Kontraindikasi untuk Vaksinasi Pertusis
DT (untuk penggunaan pediatrik) lebih
baik digunakan daripada DTaP. Anak di bawah 1 tahun menerima imunisasi DT
sebanyak 4 kali. Tiga dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu dan
dosis keempat 6-12 bulan kemudian. Jika dosis vaksin pertusis menjadi
kontraindikasi setelah mulai DTaP di tahun pertama kehidupan anak, DT harus
diganti dengan DTaP di jadwal yang tersisa.
F.
Bayi dengan
Penyakit Neurologis
Bayi yang memiliki atau diduga memiliki
penyakit neurologis, pemberian imunisasi DTaP atau DT ditunda sampai
observasi lebih lanjut dan status neurologis anak telah jelas. Tapi, imunisasi
DTaP atau DT dilakukan selambat-lambatnya anak berusia satu tahun.
G.
Bayi Dengan
Gangguan Neurologis sementara Berkaitan dengan DTaP Vaksinasi
Bayi dan anak-anak yang mengalami kejang
dalam waktu 3 hari sejak diterimanya DTaP atau ensefalopati dalam 7 hari tidak
boleh menerima vaksin pertusis, bahkan meskipun penyebab dan akibat mungkin
tidak bisa dimunculkan.
H.
Anak-anak
dengan Gangguan Neurologis tidak Diimunisasi dengan Lengkap
Jika kejang atau gangguan lainnya
terjadi sebelum ulang tahun pertama dan penyelesaian terlebih dulu tiga dosis
utama serangkaian DTaP, dosis lebih lanjut DTaP atau DT dianjurkan sampai
status bayi telah jelas.
I.
Bayi dan
Anak-anak dengan Kondisi Neurologis Stabil
Bayi dan anak-anak dengan kondisi
neurologis yang stabil, termasuk kejang terkendali dengan baik, dapat
divaksinasi. Terjadinya kejang tunggal (terkait dengan DTaP) pada bayi
dan anak kecil, sementara yang memerlukan evaluasi, tidak perlu imunisasi DTaP,
terutama jika kejang dapat dijelaskan secara memuaskan. Antikonvulsan
profilaksis harus dipertimbangkan ketika memberikan DTaP ke anak-anak tersebut.
J.
Anak-anak
dengan Gangguan neurologis yang Terselesaikan
Imunisasi DTaP dianjurkan untuk bayi
dengan masalah neurologis tertentu yang telah jelas mereda atau telah diperbaiki,
seperti neona-hypocalcemic tetani atau hidrosefalus (berikut penempatan
shunt dan tanpa kejang).
BAB IV
PENUTUP
Tetanus berasal
dari bahasa Yunani “Tetanos” yang berarti peregangan.
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan menetek di susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989).
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan menetek di susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989).
4.1 ETIOLOGI
Penyebab
tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif,
anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman tersebut terdapat ditanah, saluran
pencernaan manusia dan hewan. Kuman clostridium tetani membuat spora yang tahan
lama dan menghasilkan 2 toksin utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin.
4.2 EPIDEMIOLOGI
Clostridium
tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul, gram positip. Dapat bergerak
dan membentuk sporaspora, terminal yang menyerupai tongkat penabuh genderang (drum
stick). Spora spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan yang
merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan dengan
otoklaf.
4.3 TRANSMISI
Tetanus
tidak ditularkan dari orang ke orang. Luka, baik besar ataupun kecil, menjadi
jalan masuknya bakteri menyebab tetanus
(Clostridium tetani), sekaligus menjadi tempatberkembang dan menghasilkan
racun. Tetanus dapat mengikuti operasi elektif, luka bakar
4.4 PATOFISIOLOGI
Spora yang
masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk flex
dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini
terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan
eflex jaringan akibat adanya nanah
4.5 PENCEGAHAN DAN FAKTOR RESIKO
1.
Faktor
resiko Tetanus Neonatorum\
Tetanus neonatorum terjadi
pada masa perinatal, antara umur 0 sampai 28 hari, terutama pada saat luka
eflex tali pusat belum kering, sehingga spora C. tetani dapat mencemari dan
berbiak menjadi kuman eflexee.
2.
Faktor Cara
Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan sembilu, pisau
cukur atau silet untuk memotong tali pusat tergantung pada pengertian
masyarakat akan sterilitas. Setelah dipotong, tali pusat dapat disimpul
erat-erat atau diikat dengan benang.
4.6 Penatalaksanaan
1)
Penatalaksanaan
medis
Empat pokok dasar tata
laksana medik : debridement, pemberian antibiotik, menghentikan kejang, serta
imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
2)
Penatalaksanaan
keperawatan
Pasien tetanus neonatorum
dalah pasien yang gawat, mudah terangsang kejang dan bila kejang selalu
disertai sianosis. Spasme pada otot pernafasan sering menyebabkan pasien apneu.
Spasme otot telan akan menyebabkan liur sering terkumpul
didalam mulut dan dapat menyebabkan aspirasi. Oleh karena itu, pasien perlu
diraw
4.7 Saran:
A.
Saran untuk mahasiswa
Semoga dapat memahami
dan dimengerti dan di anjurkan agar mahasiswa mampu mengembangkan atau
mengaplikasikan tentang apa ilmu yang didapatkan.
B.
Saran untuk institusi
Diharapkan agar makalah
ini bisa sebagai bahan pembelajaran untuk mahasiswa di institusi.
C.
Saran untuk dosen
Semoga
makalah ini bisa menjadi materi tambahan untuk dosen dan bisa mengevaluasi
materi yang kami buat.
DAFTAR PUSTAKA
Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan
Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta
Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan
Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta
Santosa NI, 1989, Perawatan I (Dasar-Dasar
Keperawatan), Depkes RI, Jakarta.
Sidhartani
Zain. (1981), Ilmu Kesehatan Anak Untuk Perawat, Ikip
Semarang, Semarang.
Suharso Darto, 1994, Pedoman Diagnosis dan
Terapi, F.K. Universitas Airlangga, Surabaya.Dr.
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah asuhan neonatus bayi dan balita
dapat di selesaikan tepat waktu.
Penulisan
makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok yang diberikan oleh dosen mata
kuliah asuhan neonatus
Dalam penyusunan makalah ini kami menggunakan metode pustaka. Dimana pengumplan
data diperoleh dari berbagai macam sumber
buku bahan untuk dijadikan suatu makalah.
Kami mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah
ini. Kami akui makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik serta
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah
ini bermanfaat bagi pembaca.
Indramayu, 18 november 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
2.2 Etiologi........................................................................................
|
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 29
|
0 comments