Penelitian gambaran pelaksanaan initial assessment pada pasien

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Instalasi Gawat Darurat (IGD) termasuk dalam unit pelayanan yang ada di rumah sakit, dimana instalasi gawat darurat merupakan tempat di rumah sakit yang memiliki tim kerja dengan kemampuan dan peralatan khusus, yang memberikan pelayanan gawat darurat. Perawat di Instalasi gawat darurat harus mampu memberikan asuhan keperawatan yang membutuhkan kemampuan untuk menyesuaikan situasi kritis dengan kecepatan dan ketepatan yang tidak selalu dibutuhkan pada situasi keperawatan lain, perawat Instalasi Gawat Darurat minimal memiliki sertifikat BTCLS (Basic Training Cardiac Life Support) atau PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat) (Rosyidi, 2013).
Seiring dengan meningkatnya pelayanan yang harus diberikan kepada seorang pasien yang mengalami keadaan gawat darurat, maka perawat yang bekerja di instalasi gawat darurat dituntut untuk memiliki pengetahuan, kompetensi dan keterampilan yang profesional dalam memberikan asuhan keperawatan yang bermutu kepada pasiennya dimana perawat harus berada selama 24 jam per hari dan 7 hari dalam seminggu di instalasi gawat darurat (Oman, 2008).
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat resiko kecacatan dan bahkan kematian. Hal ini bisa saja terjadi karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma tidak mendapatkan penanganan yang optimal. Berdasarkan kasus di atas, penilaian awal merupakan salah satu item kegawatdaruratan yang sangat mutlak harus dilakukan untuk mengurangi resiko kecacatan, bahkan kematian (Patricia, 2010).
Kegawatan dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menimpa seseorang yang dapat menyebabkan sesuatu yang mengancam jiwanya dalam arti melakukan pertolongan tepat, cermat dan cepat bila tidak maka seseorang tersebut dapat mati atau menderita cacat. Banyak sebab yang dapat berakibat kematian atau cacat dalam waktu yang singkat baik dari penyebab medik ataupun trauma, yang mengakibatkan kegawatan meliputi jalan nafas dan fungsi nafas, fungsi sirkulasi, fungsi otak dan kesadaran. Unsur penyebab medik kegawatdaruratan antara lain karena penyakit, obat-obatan dan penyebab trauma (Rosyidi,2013)
Menurut Krisanty (2009), penderita gawat darurat adalah penderita/klien yang tiba-tiba  berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya. Oleh karena itu penderita gawat darurat harus dilakukan pertolongan dengan cepat dengan tujuan mencegah kematian dan cacat sehingga penderita dapat hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat. Prinsip utama menanggulangi penderita gawat darurat adalah memberikan pertolongan pertama pada penderita untuk menyelamatkan kehidupan. Adapun prinsip tindakannya yaitu aman bagi pasien, aman bagi penolong dan aman lingkungan.
Menurut Suryono (2008), Initial Assessment  adalah proses evaluasi secara cepat pada penderita gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan resusitasi. Perawat gawat darurat harus melakukan pengkajian fisik dan psikososial di awal dan secara berkelanjutan untuk mengetahui masalah keperawatan klien dalam lingkup kegawatdaruratan.
Menurut Steinmann (2010), Initial Assessment dibagi menjadi 2 fase yaitu : primary survey dan secondary survey, tujuan dari primary survey adalah untuk menangani masalah yang mengancam nyawa yang harus segera diidentifikasi dengan cepat melalui penilaian ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability,  dan Exposure). Sedangkan tujuan secondary survey adalah untuk mengidentifikasi semua penyakit dan cidera atau masalah yang berkaitan dengan keluhan pasien FGHI (Fulset of vitals, Give comfort measures, History and head to toe assessment, Inspect posterior surfaces).
Teknik pelaksanaan primary survey yaitu pada menit pertama melihat penampilan umum pasien, kemudian memeriksa dengan cepat fungsi vital dengan sistematika ABCDE. Sedangkan teknik pelaksanaan secondary survey yaitu meliputi pengukuran tanda-tanda vital, penilaian nyeri, pemeriksaan kondisi umum menyeluruh dari ujung kepala sampai kaki (Steinmann, 2010).


Berdasarkan data jumlah pasien gawat darurat di IGD RSUD Indramayu Periode Juli – Agustus 2015 dapat dilihat pada tabel berikut:
Table.1.1
Data Angka kejadian Gawat Darurat di Ruang Instalasi Gawat Darurat
RSUD Indramayu Periode Juli-Agustus 2015

Bulan
Jumlah pasien yang meninggal
Jumlah pasien gawat darurat
Juni
24
144
Juli
22
144
Agustus
19
56
Total
65
344
Sumber : Data Medical record di Ruang IGD Rumah Sakit Umum Daerah Indramayu tahun 2015

Berdasarkan table 1.1 diatas didapatkan data bahwa jumlah pasien gawat darurat pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2015 di ruang IGD RSUD Indramayu ada  344 pasien.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada tanggal 1 Oktober 2015 di Ruang IGD RSUD Indramayu dengan metode wawancara terhadap 7 orang perawat dimana 4 orang perawat mengatakan bahwa dalam pelaksanan Initial Assessment  pertama-tama harus dilakukan pemeriksaan kesadarannya kemudian  melakukan pemeriksaan airway (A), breathing (B), dan circulation (C) dengan cepat dan dilakukan tindakan resusitasi apabila diperlukan. Penanganan pada pasien gawat darurat harus dilakukan dengan cepat dan tepat  sehingga ancaman kehidupan dapat tertanggulangi dengan efektif. Kemudian setelah klien stabil dilakukan pengkajian riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik termasuk Tanda-Tanda Vital (TTV). Tetapi 3 orang perawat mengatakan bahwa  pelaksanaan Initial Assessment  harus dilakukan tindakan dengan cepat tanpa menduhulukan airway, breathing dan circulation. Berdasarkan hasil observasi terhadap 7 orang perawat 4 orang perawat  dapat melakukan Initial Assessment  sesuai prosedur sedangkan 3 orang perawat melaksanakan Initial Assessment  tidak sesuai prosedur.
Hal ini nampak ketika ada pasien gawat darurat seperti pasien stroke, dimana seorang perawat lebih mengutamakan melakukan pengukuran tekanan darah dan anamnesa daripada melakukan pemeriksaan jalan napas, menilai pernapasan dan sirkulasi dengan cepat, dan mengalirkan darah ke tempat yang penting dalam tubuh, sehingga pasokan oksigen ke otak terjaga untuk mencegah terjadinya kematian sel otak. Selain itu perawat kurang tanggap terhadap kedatangan pasien kecelakaan, dimana seharusnya perawat mampu memanfaatkan untuk memenuhi prosedur utama dalam penanganan kasus gawat darurat atau prosedur ABCD (Airway, Breathing, Circulation, Disability). Airway berarti penganan jalanan napas yang terhambat karena kecelakaan atau penyakit, Breathing berarti penanganan terhadap kemampuan paru-paru dalam memompa keluar masuk udara. Circulation yang berarti penanganan terhadap kemampuan jantung untuk memompa darah dan Disability yang berarti penanganan terhadap kemungkinan terjadinya cacat permanen akibat kecekalaan atau penyakit.
Fenomena yang terjadi seperti yang dijelaskan diatas akan menimbulkan dampak baik bagi pasien ataupun rumah sakit. Apabila pasien dengan kondisi gawat darurat tidak dilakukan pertolongan dengan segera maka dapat mengancam jiwanya atau menimbulkan kecacatan pada anggota tubuhnya. Sedangkan Initial Assessment yang dilakukan pada saat menemukan pasien dengan kondisi gawat darurat merupakan salah satu penentu keberhasilan penanganan pasien tersebut. IGD merupakan bagian terdepan dan sangat berperan di rumah sakit, baik buruknya pelayanan bagian ini akan mamberikan gambaran secara menyeluruh terhadap rumah sakit. Bagi rumah sakit keberhasilan suatu tindakan menunjukan kualitas pelayanan yang bagus bagi rumah sakit.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judulGambaran Pelaksanaan Initial Assessment Pada Pasien Gawat Darurat Oleh Perawat di Ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Indramayu
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah di atas, seorang perawat harus mampu melakukan tindakan medis yang tepat dan cepat untuk mengatasinya. Melalui protokol-protokol yang berlaku, seorang perawat harus mampu melakukan penilaian awal, sehingga mampu memberikan tindakan yang tepat sesuai dengan tujuan penilaian awal. Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan definitif atau transfer kefasilitas sesuai. Oleh karena itu perawat, khususnya dalam sistem pelayanan tanggap darurat harus mengenal konsep penilaian awal untuk meningkatkan keberhasilan penanganan kasus gawat darurat. Maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :“Bagaimana gambaran pelaksanaan Initial Assessment pada pasien gawat darurat oleh perawat di ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Indramayu?”


C.    Tujuan Penelitian
1.         Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan initial assessment pada pasien gawat darurat oleh perawat di IGD RSUD Indramayu.
2.         Tujuan Khusus
a.         Mengidentifikasi pelaksanaan primary survey pada pasien gawat daruratoleh perawat  di IGD RSUD Indramayu
b.         Menidentifikasi pelaksanaan secondary survey pada pasien gawat darurat oleh perawat di IGD RSUD Indramayu.
c.         Menidentifikasi pelaksanaan initial assessment pada pasien gawat darurat oleh perawat di IGD RSUD Indramayu
D.    Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, diantaranya sebagai berikut:
1.         Bagi Peneliti
Dengan melakukan penelitian ini dapat mengasah pikiran, menyelaraskan antara teori dengan peraktik di lapangan, dan menambah ilmu serta wawasan.
2.         Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dasar, bahan kajian untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan pengembangan ilmu pengetahuan serta wawasan mengenai pelaksanaan initial assessment pada pasien gawat darurat.

3.         Bagi Institusi Pendidikan
Digunakan sebagai bahan acuan dan perbandingan bagi penelitian lain yang berminat mengembangkan topik bahasan ini dengan melakukan penelitian lebih lanjut.
4.         Bagi Institusi RumahSakit
Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak rumah sakit sebagai masukan dan informasi mengenai gambaran pelaksanaan Initial Assessment pada pasien gawat darurat guna menghindari kematian pada pasien gawat darurat.
E.     Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Initial assessment pada pasien gawat darurat oleh perawat di IGD RSUD Indramayu. Sampel penelitian ini adalah tindakan pada pasien gawat darurat di ruang IGD RSUD Indramayu.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Instalasi Gawat Darurat
Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan asuhan keperawatan sementara serta pelayanan pembedahan darurat, bagi pasien yang datang dengan gawat darurat medis.Pelayanan pasien gawat darurat adalah pelayanan yang memerlukan pelayanan segera, yaitu cepat, tepat dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan. Salah satu indikator mutu pelayanan adalah waktu tanggap (respons time) (Depkes RI, 2006).
Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) dalam mencegah kematian dan cacat ditentukan oleh : a) kecepatan ditemukan penderita, b) kecepatan meminta pertolongan, dan c) kecepatan dalam kualitas pertolongan yang diberikan untuk menyelamatkannya.
1.      Prosedur Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit
Prosedur pelayanan di suatu rumah sakit, pasien yang akan berobat akan diterima oleh petugas kesehatan setempat baik yang berobat di rawat inap, rawat jalan (poliklinik) maupun di IGD untuk yang penyakit darurat/emergency dalam suatu prosedur pelayanan rumah sakit. Prosedur ini merupakan kunci awal pelayanan petugas kesehatan rumah sakit dalam melayani pasien secara baik atau tidaknya, dilihat dari sikap yang ramah, sopan, tertib, dan penuh tanggung jawab.
Perbedaan masing-masing prosedur dalam pelayanan pasien di rawat inap, rawat jalan, dan IGD, maka dalam tulisan ini hanya membahas prosedur pelayanan khusus untuk Instalasi Gawat Darurat saja dikarenakan pasien yang datang untuk berobat di unit ini jumlahnya lebih banyak dan silih berganti setiap hari, serta unit pelayanan ini bersifat penting (emergency) sehingga diwajibkan untuk melayani pasien 24 jam sehari selama 7 hari dalam 1 minggu secara terus menerus.
Ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan adalah syarat yang harus dipenuhi oleh IGD. Selain dokter jaga yang siap di IGD, rumah sakit juga harus menyiapkan spesialis lain (bedah, penyakit dalam, anak, dan lain-lain) untuk memberikan dukungan tindakan medis spesialistis bagi pasien yang memerlukannya.
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam Pasal 5l Undang-Undang No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, dimana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar prikemanusiaan. Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan.
2.        Tenaga Kesehatan dalam Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit
Hal yang perlu dikemukakan dalam lingkup kewenangan personil dalam pelayanan gawat darurat adalah pengertian tenaga kesehatan. Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam Pasal 1 butir 6 UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan dapat dilihat dalam Pasal 63 ayat (4) yang menyatakan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Klasifikasi perawat gawat darurat menurut Depkes RI (2006), mengelompokkan berdasarkan fungsinya sebagai berikut: a) fungsi independen, fungsi mandiri berkaitan dengan pemberian asuhan (care), b) fungsi dependen, fungsi yang didelegasikan sepenuhnya atau sebagian dari profesi lain, c) fungsi kolaboratif, yaitu melakukan kerjasama saling membantu dalam program kesehatan (perawat sebagai anggota tim kesehatan).
Peran dan fungsinya, maka perawat gawat darurat harus memiliki kemampuan minimal sebagai berikut:
a.         Mengenal Klasifikasi Pasien
b.         Mampu Mengatasi Pasien : Syok, Gawat Nafas, Gagal Jantung Paru Dan Otak, Kejang, Koma, Perdarahan, Kolik, Status Asthmatikus, Nyeri Hebat Daerah Pinggul Dan Kasus Ortopedi
c.         Mampu Melaksanakan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
d.        Mampu Melaksanakan komunikasi eksternal dan internal.
B.     Perawat
Tenaga keperawatan salah satu sumber daya manusia di rumah sakit yang menentukan penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini wajar mengingat perawat adalah bagian dari tenaga paramedik yang memberikan perawatankepada pasien secara langsung. Sehingga pelayanan keperawatan yang prima secara psikologis merupakan sesuatu yang harus dimiliki dan dikuasai oleh perawat.
Perawat merupakan sub komponen dari sumber daya manusia khusus tenaga kesehatan yang ikut menentukan mutu pelayanan kesehatan pada unit pelayanan kesehatan. Keperawatan merupakan salah satu bentuk pelayanan yang menjadi bagian dari sistem pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan pelayanan, perawat selalu mengadakan interaksi dengan pasien, keluarga, tim kesehatan dan lingkungannya di mana pelayanan tersebut dilaksanakan (Potter dan Perry, 2010).
1.       Definisi Perawat
Nursalam (2007), mendefinisikan keperawatan sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan di sini adalah bagaimana perawat memberikan dukungan emosional kepada pasien dan memperlakukan pasien sebagai manusia.

2.      Tugas Pokok dan Fungsi Perawat
Menurut Hidayat (2007) fungsi perawat adalah :
a.         Mengkaji kebutuhan pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat serta sumber yang tersedia dan potensial untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
b.         Merencanakan tindakan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat berdasarkan diagnosis keperawatan.
c.         Melaksanakan rencana keperawatan meliputi upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan dan pemeliharaan kesehatan termasuk pelayanan pasien dan keadaan terminal.
d.        Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan.
e.         Mendokumentasikan proses keperawatan.
f.          Mengidentifikasi hal-hal yang perlu diteliti atau dipelajari serta merencanakan studi kasus guna meningkatkan pengetahuan dan pengembangan ketrampilan dan praktek keperawatan.
g.         Berperan serta dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok serta masyarakat.
h.         Bekerja sama dengan disiplin ilmu terkait dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat.
i.           Mengelola perawatan pasien dan berperan sebagai ketua tim dalam melaksanakan kegiatan keperawatan.
Menurut Nursalam (2008), beberapa modal dasar perawat dalam melaksanakan pelayanan prima, antara lain : profesional dalam bidang tugasnya,mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi, memegang teguh etika profesi, mempunyai emosi yang stabil, percaya diri, bersikap wajar, dan berpenampilan memadai.
Perawat sebagai seorang tenaga profesional dalam bidang pelayanan kesehatan yang dihadapinya adalah manusia, sehingga dalam hal ini empati mutlak harus dimiliki oleh seorang perawat. Dengan empati, seorang perawat akan mampu mengerti, memahami dan ikut merasakan apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan dan apa yang diinginkan pasien (Potter dan Perry, 2009).
Untuk dapat memberikan pelayanan yang prima maka seorang perawat harus peka dalam memahami alur pikiran dan perasaan pasien serta bersedia mendengarkan keluhan pasien tentang penyakitnya. Dengan demikian perawat dapat mengerti bahwa apa yang dikeluhkan merupakan kondisi yang sebenarnya, sehingga respon yang diberikan terasa tepat dan benar bagi pasien (Potter dan Perry, 2009).
C.    Kegawatdaruratan
1.      Definisi Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menimpa seseorang yang dapat menyebabkan sesuatu yang mengancam jiwanya dalam arti melakukan pertolongan tepat, cermat dan cepat bila tidak maka seseorang tersebut dapat mati atau menderita cacat (Rosyidi, 2013).
2.      Penyebab Utama Kegawatdaruratan
Menurut Rosyidi (2013), banyak sebab dapat berakibat kematian atau cacat dalam waktu singkat dan berupa sebab-sebab bidang medik ataupun trauma. Yang mengakibatkan kegawatan menyangkut: jalan napas dan fungsi nafas; fungsi sirkulasi; dan fungsi otak dan kesadaran.
3.      Keadaan-Keadaan Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan dalam bidang medis dapat bermanifestasikan berbagai gejala dan tampilan yang beragam. Keadaan-keadaan gawat darurat yang dapat kita temukan sehari-hari adalah seperti infeksi otak (gangguan kesadaran, gangguan pusat-pusat vital); diabetes (koma diabetikum); hepar (koma hepatikum); ginjal (koma uremikum); jantung (serangan jantung); tekanan darah tinggi (serangan otak); kelemahan otot (tidak dapat bernapas); narkotika (tidak dapat bernapas atau henti napas), anafilaksis (shock berat/henti jantung); trauma kepala (gangguan kesadaran; trauma wajah (gangguan jalan napas); trauma dada (perdarahan shock); pneumothorak (sesak); patah tulang dada (sesak, nyeri); trauma perut (perdarahan shock); trauma anggota gerak (perdarahan/nyeri shock); trauma pada kehamilan(bahaya untuk ibu dan janin); terbakar (sesak, shock) (Rosyidi, 2013).
D.    Penilaian Awal (Initial Assesment) Kegawatdaruratan
1.      Pengertian
Pengertian luas initial assesment adalah proses evaluasi secara tepat pada penderita gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan resusitasi.Initial assessment meliputi dua komponen yaitu primary survey dan secondary survey harus dilakukan dengan urutan yang benar supaya diperoleh hasil yang maksimal meskipun demikian dalam praktek sehari-hari dapat berlangsung secara simultan.
2.      Tujuan 
Tujuan yang penting dari penilaian awal kegawatdaruratan adalah memberikan perawatan yang akan menguntungkan pada orang-orang tersebut                 g
sebagai persiapan terhadap penanganan lebih lanjut. Dalam penanganan pasien-pasien trauma, waktu menjadi hal yang sangat penting, maka diperlukan suatu cara penilaian yang cepat untuk menentukan tindakan perawatan yang harus diberikan sesegera mungkin dalam rangka menyelamatkan nyawa seseorang.
3.      Primary Survey
Penanganan awal dalam primary survey membantu mengidentifikasi keadaan-keadaan yang mengancam nyawa, yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut : A : Airway, pemeliharaan airway dengan proteksi servikal B : Breathing, pernapasan dengan ventilasi C : Circulation, kontrol perdarahan D : Disability, status neurologis E : Exposure/Environmental control, membuka seluruh baju penderita, tetapi cegah hipotermia
a.       Airway
Keadaan kurangnya darah yang teroksigenasi ke otak dan organ vital lainnya merupakan pembunuh pasien-pasien trauma yang paling cepat. Obstruksi airway akan menyebabkan kematian dalam hitungan beberapa menit. Gangguan pernapasan biasanya membutuhkan beberapa menit lebih lama untuk menyebabkan kematian dan masalah sirkulasi biasanya lebih memakan waktuyang lebih lama lagi. Maka dari itu, penilaian airway harus dilakukan dengan cepat begitu memulai penilaian awal.Kematian-kematian dini yang disebabkan masalah airway, dan yang masih dapat dicegah, sering disebabkan oleh : 1) kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway; 2) ketidakmampuan untuk membuka airway; 3) kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru; 4) perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang; 5) kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi; 6) aspirasi isi lambung.
Tecapainya patensi airway merupakan hal yang sangat esensial dalam penanganan awal pasien-pasien gawat darurat. Penilaian tentang mampu atau tidaknya seseorang bernapas secara spontan harus dilakukan secara cepat. Menurut Kartika (2011), untuk menilai patensi airway secara cepat dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada pasien. Respon verbal yang normal menandakan dengan cepat kepada penolong bahwa pasien memiliki airway yang paten, sudah bernapas, dan otaknya sudah dalam keadaan diperfusi. Namun begitu, penilaian airway tetap penting untuk dilakukan. Apabila pasien hanya dapat berbicara sepatah dua patah kata ataupun tidak respon, pasien kemungkinan dalam keadaan distress nafas dan membutuhkan pertolongan bantuan napas secara cepat.
Dalam mengatasi obstruksi airway, terlebih dahulu dilakukan suctioning untuk mengeluarkan cairan saliva berlebih yang mungkin timbul akibat pangkal lidah yang terjatuh. Tindakan suctioning yang tepat dalam pemeliharaan airway dapat secara signifikan menurunkan kejadian aspirasi dan lebih banyak lagi hasil positif yang didapatkan. Pada keadaan tidak sadarkan diri, penyebab tersering terhambatnya airway adalah pangkal lidah yang jatuh. Selain itu, penolong juga harus melakukan inspeksi tentang ada tidaknya benda-benda asing yang menghambat airway ataupun kemungkinan terjadinya fraktur fasial, mandibular ataupun trakeal/laringeal yang juga dapat menghambat bebasnya airway. Pasien-pasien dalam keadaan penurunan kesadaran ataupun GCS (Glasgow Coma Score) yang nilainya 8 ke bawah perlu diberikan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan-gerakan motorik tidak bertujuan juga biasanya mengindikasikan perlunya pemasangan airway definitif.
Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :1) suara berkumur; 2) suara nafas abnormal (stridor, dan sebagainya); 3) pasien gelisah karena hipoksia; 4) bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks ; dan 5) sianosis
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Berbagai bentuk sumbatan pada airway dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) dan memiringkan kepala (head tilt) maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Adanya suspek cedera pada spinal mengindikasikan dilakukannya tindakan imobilisasi spinal (in-line immobilization).
1)      Teknik-teknik Mempertahankan airway :
a)      Head-tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal, kecuali pada pembersihan airway dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermitten.
b)      Chin-lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati-hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.
c)      Jaw-thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri beradapada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxilla.
d)     Oropharyngeal Airway
Indikasi : Membebaskan sumbatan airway atas, mencegah pangkal lidah menyumbat airway, dan berfungsi sebagai bite-block pada penanganan jalan nafas yang lebih advance yakni proteksi pipa endotrakeal dan memfasilitasi suctioning oral dan faringeal.
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180 derajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien.
e)      Nasopharyngeal Airway
Indikasi : Penggunaan nasopharyngeal airway optimal untuk pemeliharaan airway pada pasien-pasien setengah sadar ataupun tidak sadarkan diri. Alat ini lebih tidak mudah menyebabkan stimulasi gag reflex dan juga muntah pada pasien dibandingkan dengan penggunaanoropharyngeal airway dan tepat digunakan pada pasien yang giginya menggertak ataupun tidak mau membuka mulutunya.
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa nasofaring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa.Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa).
2)      Airway
Terdapat tiga macam airway definitif, yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan airway surgikal (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain (Americann College of Surgeons, 2009) :
a)        Masalah-masalah Airway - Ketidakmampuan untuk memelihara patensi jalan napas dengan cara lain, denganbahaya yang potensial terjadi pada airway (misal : setelah cedera inhalasi, fraktur fasial, atau hematoma retrofaringeal).
b)        Masalah-masalah Pernapasan –Ketidakmampuan untuk memperthanakan oksigenasi yang adekuat dengan dukungan sungkup oksigen, dan adanya apnea.
c)        Masalah-masalah Disabilitas – Adanya cedera kepala tertutup yang membutuhkan ventilasi bantuan (Skala Koma Glasgow bernilai 8 atau kurang), perlu melindungi bagian bawah airway dari terjadinya aspirasi darah ataupun muntahan, atau adanya aktivitas kejang yang menetap.
Penilaian dari status klinis pasien dan penggunaan pulse oxymeter dapat membantu menentukan perlu atau tidaknya tindakan airway definitif.Dalam memberi tindakan orotrakeal ataupun nasotrakeal, harus selalu diperkirakan adanya cedera pada c-spine maka in-line mobilisation harus tetap dikerjakan saat memberikan tindakan.Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikator jelas untuk melakukan airway surgical.
b.      Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang baik terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. (American College of Surgeons, 2009). Ventilasi adalah pergerakan dari udara yang dihirup kedalam dengan yang dihembuskan ke luar dari paru. Pada awalnya, dalam keadaan gawat darurat, apabila teknik-teknik sederhana seperti head-tilt maneuver dan chin-lift maneuver tidak berhasil mengembalikan ventilasi yang spontan, maka penggunaan bag-valve mask adalah yang paling efektif untuk membantu ventilasi.
Teknik ini efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu penolong dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (American College of Surgeons, 2009). Berikut adalah cara melakukan pemasangan bag-valve mask :
1)      Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2)        Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)
3)        Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
4)        Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka.
5)        Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien.
6)        Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
7)        Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama).
8)        Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa). Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag). Penilaian ventilasi yang adekuat atau tidak dapat dilakukan dengan melakukan metode berikut  :
a)         Look : Lihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat. Asimeteri menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi penderita.
b)        Listen : Dengar adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau tidak terdengarnya suara nafas pada satu atau kedua  hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernafasan yang cepat – takipnea mungkin menunjukkan kekurangan oksigen.
c)         Feel (rasa): merasakan adanya hembusan napas
Pada saat penilaian sebelumnya dilakukan, penolong harus mengetahui dan mengenal ciri-ciri gejala dari keadaan-keadaan yang sering muncul dalam masalah ventilasi pasien gawat darurat seperti tension pneumothorax, massive hemothorax, dan open pneumothorax. Penanganan yang dapat dilakukan adalah :

1)   Memberi oksigen dengan kecepatan 10-12 liter/menit
2)   Tension pneumothorax : Needle Insertion (IV Cath No.14) di ICR II-Linea midclavicularis
3)   Massive haemothorax : Pemasangan Chest Tube
4)   Open pneumothorax : Luka ditutup dengan kain kasa yang diplester pada tiga sisi (flutter-type voice effect)
c.       Circulation
Masalah sirkulasi pada pasien-pasien trauma dapat diakibatkan oleh banyak jenis perlukaan.Volume darah, cardiac outptut, dan perdarahan adalah masalah sirkulasi utama yang perlu dipertimbangkan. Dalam menilai status hemodinamik, ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi tentang ini :
1)       Tingkat Kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik, penderita yang sadar belum tentu normovolemik).
2)      Warna Kulit
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.


3)      Nadi
Periksalah pada nadi yang besar seperti a. Femoralis atau a. Karotis (kiri-kanan) untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovolemia (bila penderita tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normovolemia.Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan tanda diperlukannya resusitasi segera. Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manual maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin (American College of Surgeons, 2009).
d.      Disability
Menjelang akhir dari primary survey, dilakukan suatu pemeriksaan neurologis yang cepat. Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari pemeriksaan tingkat kesadaran pasien, ukuran dan respon pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat cedera korda spinalis.
Tingkat kesadaran yang abnormal dapat menggambarkan suatau spektrum keadaan yang luas mulai dari letargi sampai status koma.Perubahan apapun yang mengganggu jaras asending sistem aktivasi retikular dan sambungannya yang sangat banyak dapat menyebabkan gangguan tingkat kesadaran.
Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU (A :Alert; V : Respon to verbal; P : Respon to pain; U : Unrespon), sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat secondary survey. GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai tingkat kesadaran pasien.
1)      Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita :
a)      Membuka mata spontan
b)      Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
c)      Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku jari tangan)
d)     Tidak memberikan respon
2)      Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1) Perhatikan apakah penderita :
a)      Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
b)      Disorientasi atau bingung
c)      Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
d)     Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
e)      Tidak memberikan respon
3)      Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1) Perhatikan apakah penderita :

a)      Melakukan gerakan sesuai perintah
b)      Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
c)      Menghindar terhadap rangsangan nyeri
d)     Fleksi abnormal (decorticated)
e)      Ektensi abnormal (decerebrate)
f)       Tidak memberikan respon
Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek kesadaran).
e.       Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan caralog roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dandiberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.
Di rumah sakit penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk evaluasi kelainan atau injury secara cepat pada tubuhh penderita.Setelah pakaian dibuka perhatikan terhadap injury/jejas pada tubuh penderita, dan harus dipasang selimut agar penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan. Apabila pada primary survei dicurigai ada perdarahan dari belakang tubuh maka dilakukan ‘log rog’ untuk mengetahui sumber perdarahan.
Pemeriksaan seluruh bagian tubuh harus dilakukan disertai tindakan untuk mencegah hipotermia. Pemasangan bidai atau vakum matras untuk emnghentikan perdarahan juga sapat dilakukan pada fase ini.           
Pemeriksaan penunjang pada umumnya tidak dilakuan pada survey primer. Yang dilakukan pada survey primer adalah pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oxymetri, foto servical, foto thoraks, dan foto polos abdomen. Tindakan lainnya yang dapat dikerjakan pada survey primer adalah pemasangan monitor EKG, kateter, dan NGT. Pemeriksaan dikerjakan tanpa menghentikan/ menunda proses survey primer.
4.      Secondary Survey
Setelah dilakukan survey primer dan masalah yang terkait dengan jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran telah selesai dilakukan tindakan, maka tahapan selanjutnya adalah survey sekunder. Pada survey sekunder pemeriksaan lengkap mulai dari head to toe. Survey sekunder hanya dilakukan apabila penderita stabil. Sedikit mengenai pengertian stabil : penderita stabil berarti bahwa keadaan penderita sudah tidak menurun, mngkin masih ada tanda syok, namun tidak bertambah berat. Ini berbeda dengan keadaan normal, dimana penderita kembali ke keadaan normal.
a.         Full set of vital signs
Pengkajian objektif adalah sekumpulan darta yang dapat dilihat dan diukur meliputi TTV, BB dan TB pasien.Tanda-tanda vital termasuk suhu tubuh, denyut nadi, pernapasan, kecukupan oksigen, tekanan darah, tekanan nadi, dan berat badan serta tinggi badan. Hasil pengukuran nyeri merupakan hal yang unik karena meskipun telah diperiksa dengan menggunakan skala objektif, maka respon pasienlah yang tetap menjadi dasar pengukuran.
1)      Suhu Tubuh
Pengukuran suhu tubuh bisa dilakukan dengan menggunakan thermometer oral, aksila, rectal, atapun timpani.Alat yang digunakan disesuaikan dengan kebijakan rumah sakit dan biasanya pada pasien dewasa, suhu tubuh diukur dengan menggunakan thermometer oral.Suhu tubuh dipengaruhi oleh kegiatan, kondisi penyakit tertentu, faktor lingkungan, serta adanya infeksi dan luka. Jika hasil pengukuran suhu tubuh didapatkan terlalu tinggi atau rendah, maka harus dipastikan dan dikaji lagi bagaimana cara pengukurannya, thermometer yang digunakan, dan cara pembacaannya.
2)      Denyut Nadi
Pemeriksaan denyut nadi meliputi irama, kualitas dan keseimbangan. Denyut nadi perifer diukur melalui palpasi, sedangkan denyut jantung apical dilakukan dengan cara auskultasi. Bandingkanlah antara kedua denyut nadi kanan dan kiri untuk memeriksa adanya perbedaan.Denyut nadi atau denyut apical yang abnormal merupakan indikasi adanya gangguan fisiologis (syok), kondisi lingkungan (dingin), luka lokal (berhubungan dengan aliran arteri), atau gangguan jantung. Pada pasien yang mengalami bradikardi, takikardi, atau denyut nadi yang tidak teratur, maka disarankan untuk dipasang monitor jantung dan electrocardiography (EGC) 12 lead.Pemasangan oksimeter juga perlu dilakukan untuk mendeteksi penurunan alilran darah di bagian ekstrimitas (penurunan perfusi jaringan perifer).

3)      Pernapasan
Pemeriksaan status pernapasan meliputi suara napas, cara bernapas, dan gangguan suara napas. Tanda-tanda meningkatnya usaha bernapas ditandai dengan retraksi dinding dada, tarikan trakeal, pernapasan cuping hidung, keterlibatan otot dada atau aksesorius, ketidakmampuan berbicara dalam satu kalimat penuh, dan munculnya suara napas yang terganggu.
4)      Kecukupan Oksigen
Memantau jumlah kecukupan oksigen, maka perlu dilakukan pemasangan oksimeter.Pemasangan oksimeter dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan, tingkat kesadaran yang berubah-ubah, penyakit serius, dan pasien dengan tanda-tanda vital yang abnormal.Namun demikian, pada pasien hipotermi, vasokontriksi, anemia, hipertensi, pasien dengan kuku palsu atau kuku yang dicat, hasil pemantauan oksimeternya dapat mengalami gangguan atau tidak akurat.Pemasangan oksimeter dapat dilakukan pada jari atau ibu jari kaki, daun telinga, tepi hidung atau dengan menutupkan seluruh jari-jari kaki bayi dengan oksimeter.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah pada pemasangan oksimeter hanya persentase sel darah merah saja yang dapat dideteksi tanpa membedakan komponen atau zat lain yang memasuki sel darah merah tersebut. Sebagai contoh: pada pasien yang mengalami keracunan karbon monoksida, maka akan tampak hasil pengukuran oksimeternya normal. Ketika hal tersebut terjadi, maka pasien harus diperiksa sampel gas darah arteri (blood gas analysis) untuk mengetahui kandungan oksigen dalam pembuluh darah arteri.Kemudian hasil pemeriksaan gas darah arteri dibandingkan dengan hasil pengukuran oksimeter. Apabila terdapat perbedaan, maka periksa kadar karbon monoksida menurun mendekati nilai normal.
5)      Tekanan Darah
Pemeriksaan tekanan darah yang abnormal menandakan perlunya pemeriksaan lebih lanjut, sebaliknya perubahan tekanan darah (blood pressure) bukanlah satu-satunya bukti sampai pemeriksaan lanjutan dilakukan khususnya pada orang muda dan sehat. Posisi pasien dapat mempengaruhi hasil tekanan darah secara signifikan karena banyak hasil observasi tekanan darah yang abnormal terjadi karena kesalahan teknis. Jika pemasangan cuff pergelangan tangan terlalu ketat, maka tekanan darah meningkat dan sebaliknya jika pemasangan terlalu longgar, maka tekanan darah akan menurun.
Tekanan darah bukalah pemeriksaan tunggal melainkan hasil dari aktivitas kontraksi jantung, denyut jantung, volume sirkulasi, dan tekanan vascular perifer.Dalam keadaan normal, denyut jantung meningkat drastis untuk mempertahankan hasil kontraksi jantung yaitu darah. Dalam keadaan hipovolemia, tekanan darah sistolik menurun, sedangkan diastolic tetap sama, turun lebih rendah, atau bahkan meningkat selama pembuluh darah dapat melakukan vasokontriksi untuk mengompensasi hilangnya volume darah.
Penanda vital ortostatik yang memeriksa tekanan darah dan nadi dalam keadaan dua atau tiga posisi yaitu berbaring, duduk atau berdiri. Penanda vital ortostatik dapat dijumpai pada pasien dengan riwayat sinkop atau dugaan penurunan volume darah. Ketika melakukan pemeriksaan pada pasien dengan hipotensi ortostatik, maka perlu dipertimbangkan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolic, dan denyut jantung sebagai tiga variabel yang saling terkait. Berdasarkan tiga parameter tersebut, hanya peningkatan denyut nadi yang lebih tinggi dari 30x/menit atau pusing yang berhubungan langsung dengan penurunan volume darah. Selain itu, perlu diperhatikan juga jenis obat yang dikonsumsi pasien dan beberapa kondisi kesehatan yang kemungkinan hipotensi ortostatik.
6)      Tekanan Nadi (Pulse Pressure)
Mengetahui status volume darah yang bersirkulasi adalah dengan menghitung pulse pressure. Tekanan nadi adalah perbedaan tekanan sistolik dan tekanan diastolic. Rumus sederhana ini dapat dihitung secara terus-menerus ketika terjadi perubahan. Tekanan nadi yang menurun menandakan penurunan curah jantung dan awal peningkatan tekanan pembuluh darah perifer. Tekanan nadi lebih sensitive terhadap perubahan hipovolemia dibandingkan dengan tekanan sistolik sehingga hal tersebut digunakan sebagai tanda awal munculnya gangguan tekanan darah. Tekanan nadi adalah ukuran yang sangat bermanfaat bagi pasien yang tidak mampu duduk ataupun berdiri ketika dilakukan pengukuran hipotensi ortostatik.
7)      Pengukuran Berat Badan dan Tinggi Badan
Berat badan merupakan salah satu komponen dalam pemeriksaan terutama paa pasien bayi atau anak-anak karena sebagian besar pengobatan diukur berdasarkan berat badan yang dicatat dalam kilogram. Selain itu, pengukuran tinggi badan kadang-kadang juga diperlukan dalam rangka untuk menghitung tingkat aliran ekspiratori yang diharapkan.


b.         Give comfort measures  (memberikan kenyamanan)
Korban trauma sering mengalami masalah yang terkait dengan kondisi fisik dan dan psikologis. Metode farmologi dan non-farmakologi banyak digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan kecemasan. Dokter dan perawat yang terlibat dalam tim trauma harus bisa mengenali keluhan dan melakukan intervensi bila dibutuhkan.
c.    History
Jika pasien sadar dan kooperatif, lakukan pengkajian pada pasien untuk memperoleh informasi penting tentang kondisi sebelumnya sampai di rumah sakit seperti tempat kejadian. Proses cedera, penilaian pasien dan intervensi didapatkan dari petugas EMS. Utuk mempermudah dalam melakukan pengakajian yang berkaitan dengan riwayat kejadian pasien, maka didapat digunakan mnemonic AMPLE yaitu sebagai berikut : Allergies (alergi) ; Medications (pengobatan); Past health history (riwayat kesehatan masa lalu) ; Last meal (terakhir makan) ; dan Events (hal-hal yang bersangkutan dengan kejadian).
Data subjektif perlu dipertimbangkan budaya pasien, kemampuan kognitif, dan tingkat pertumbuhan.Informasi yang jelas dapat diperoleh dari pasien, keluarga, pengasuh, atau orang yang mengenal baik riwayat kesehatan pasien. Sebelum bertanya tentang keluhan pasien, perawat memperkenalkan diri terlebih dahulu.Informasi data subjektif meliputi keluhan utama, alasan kunjungan ke rumah sakit, status kesehatan pasien saat ini, pengobatan yang sedang dijalani, dan riwayat alergi (cacat jenis dan tingkat keparahan reaksi alergi). Riwayat pengobatan termasuk resep obat, jamu, obat penenang, ataupun obat yang dibeli tanpa resep yang dikonsumsi oleh pasien harus dicatat juga. Pengkajian tentang keluhan nyeri termasuk tingkat keparahan, lokasi, durasi, dan intensitas nyeri dengan menggunakan mnemonic PQRST yaitu Provokes, Palliative (penyebab); Quality (kualitas); Radiates (penyebaran); Severity (keparahan); dan Time (waktu).
d.   Head-to-Toe Examination
1)      Pengkajian Kepala
a)         Inspeksi dan palpasi keseluruhan kulit kepala; hal ini penting karena kulit kepala biasanya tidak terlihat karena tertutup rambut kepala
b)        Catat adanya pendarahan, laserasi, memar, atau hematom
c)         Catat adanya darah atau drainase dari telinga. Inspeksi adanya memar dibelakan telinga
d)        Kaji respons dan orientasi pasien akan waktu, tempat, dan diri. Observasi bagaimana pasien merespons pertanyaan dan berinteraksi dengan lingkungan.
e)         Catat adanya tremor atau kejang
2)      Wajah
a)         Inspeksi dan palpasi tulang wajah
b)        Kaji ukur pupil dan reaksinya terhadap cahaya. Catat apakah lensa kontak terpasang ; jika ia, lepaskan
c)         Catat adanya darah atau drainase dari telinga, mata, hidung, atau mulut
d)        Observasi bibir, daun telinga, dan ujung kuku terhadap sianosis
e)         Cek adanya gigi yang tanggal
f)         Cek adanya gigi yang palsu ; jika ada dan pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran atau gigi palsu mempengaruhi jalan nafas, lepaskan ; lalu berinama dan simpan ditempat yang aman ( lebih baik berikan kepada keluarganya)
g)      Inspeksi lidah dan mukosa oral terhadap trauma
3)      Leher
a)         Observasi adanya bengkak atau deformitas dileher
b)        Cek sepinal servikal untuk deformitas dan nyeri palpasi. Perhatian jangan menggerakan leher atau kepala pasien dengan kemungkinan trauma leher sampai fraktur servikal sudah dipastikan.
c)         Observasi adanya deviasi trakea
d)        Observasi adanya distensi vena jugularis.
4)      Dada
a)         Inspeksi dinding dada untuk kualitas dan kedalaman pernafasan, dan untuk kesimetrisan pergerakan. Catat adanya segmen flail chest
b)        Cek adanya fraktur iga dengan melakukan penekanan pada tulang iga pada posisi lateral, lalu anterior, dan osterior; manuver ini menyebabkan nyeri pada pasien dengan fraktur iga
c)         Catat keluhan pasien akan nyeri, disepnea, atau sensasi dada terasa berat
d)        Catat memar, pendarahan, luka, atau emfisema subcutaneous
e)         Ouskultasi paru untuk kualitas dan kesimetrisan bunyi nafas
5)        Abdomen
a)         Catat adanya distensi, perdarahan, memar, atau abrasi, khususnya disekitar organ vital seperti limpa atau hati
b)        Kaji kekakuan dan tendemess. Selalu auskultasi abdomen untuk bising usus sebelum mempalpasi untuk mengkasi secara benar peristaltic.

6)      Genetalia dan Pelvis
a)         Observasi untuk abrasi, perdarahan, hematoma, edema, atau discharge
b)        Berikan tekanan lembut disetiap iliac crest dengan gerakan getaran kecil ; pasien fraktur pelvis akan kehilangan rasa (manuver ini juga akan menyebabkan nyeri pada pasien)
c)         Observasi adanya distensi kandung kemih
7)      Tulang Belakang
a)         Mulai tempatkan satu tangan dibawah leher pasien, dengan lembut palpasi vertebra. Rasakan adanya deformitas, dan catat lokasinya jika terdapat respon nyeri dari pasien
b)        Perhatian ; jangan pernah membalik pasien untuk memeriksa tulang belakang sampai trauma spinal sudah dipastikan jika anda harus membalik pasien (misalnya luka terbuka) gunakan tehnik log-roll
c)         Catat adanya keluhan nyeri dari pasien ketika mempalpasi sudut costovertebral melewati ginjal
8)      Ekstremitas
a)         Cek adanya perdarahan, edema, pallor, nyeri, atau asimetris tulang atau sendi dimulai pada segmen proksimal pada setiap ekstremitas dan palpasi pada bagian distal
b)        Cek pergerakan, range of motion (ROM) , dan sensasi pada semua ekstremitas
c)         Palpasi nadi distal dan cek capillary refill pada ujung kuku, kaji warna kulit pada ekstremitas
d)        Cek reflex seperti plantar, biseps, dan patela






















BAB III
KERANGKA KONSEP  DAN DEFINISI OPERASIONAL

A.    Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian merupakan konsep dalam penelitian yang digambarkan sebagai landasan berpikir dalam kegiatan penelitian (Nursalam, 2010).Adapun skema kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut ini:
Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian


 




Keterangan:

 

 
         : Variabel yang diteliti
         : Variabel yang tidak diteliti

B.     Desinisi Operasional
Definisi Operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2010)
Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel

Variabel/
subvariabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara ukur
Skala
Kategori
Variabel : Pelaksanaan Initial Assessment
Penilaian awal  yang dilakukan oleh perawat secara tepat terhadap pasien gawat darurat yang meliputi tahap primary survey dan dan tahap secondary survey 
Lembar
Observasi
Observasi langsung terhadap tindakan yang dilakukan perawat dan melihat dokumentasi.
Ordinal
1.     Sesuai,jika nilai ≥75%
2.     Tidak sesuai, jika nilai < 75%
Subvariabel : Primary Survey
Penilaian awal yang  dilakukan oleh perawat terhadap pasien gawat darurat meliputi tahap (ABCDE): Airway, Breathing, Circulation,Disability, dan Exposure
Lembar
Observasi
Observasi langsung terhadap tindakan yang dilakukan perawat dan melihat dokumentasi
Ordinal
1.        Sesuai,jika nilai ≥75%
2.        Tidak sesuai, jika nilai < 75%
Subvariabel : Secondary Survey
Penilaian awal yang dilakukan oleh perawat mulai dari head to toe meliputi: riwayat pasien, pengkajian subjektif, pengkajian objektif meliputi tanda-tanda vital yaitu suhu tubuh,  denyut nadi, pernapasan, kecukupan oksigen, dan tekanan darah, tekanan nadi.
Lembar
Observasi
Observasi langsung terhadap tindakan yang dilakukan perawat dan melihat dokumentasi
Ordinal
1.        Sesuai,jika nilai ≥75%
2.        Tidak sesuai, jika nilai < 75%



BAB IV
METODE PENELITIAN

A.    Rancangan Penelitian
Jenis penelitian dalam hal ini adalah penelitian deskriptif dengan tujuan utama membuat gambaran tentang suatu keadaan secara obyektif yang digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan dan situasi yang sedang dihadapi sekarang (Notoatmodjo, 2010). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif, yaitu pendekatan yang memungkinkan dilakukan pencatatan dan analisis data hasil penelitian secara eksak dan menganalisis datanya menggunakan perhitungan statistik (Arikunto, 2010).
B.     Populasi dan Sampel
1.      Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari subyek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tindakan initial assessment di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Indramayu.
2.      Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Cara pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel didasarkan pada pertimbangan peneliti dengan maksud atau tujuan (Notoatmodjo, 2010). Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah sampel yang sesuai kriteria inklusi, yaitu kriteria dimana subyek penelitian dapat mewakili dalam sampel penelitian, memenuhi syarat sebagai sampel (Alimul, 2007).
a.       Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2010). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien gawat darurat (pasien penyakit dalam) non trauma dewasa dan anak yang perlu mendapatkan tindakan initial assessment.
b.      Kriteria eksklusi
Kriteria eklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang tidak memenuhi kriteria inklusi karena berbagai sebab (Nursalam, 2010). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien gawat darurat (pasien penyakit dalam dengan penyakit penyerta lainnya), pasien trauma dan pasien kebidanan.
C.    Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau unsur yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang konsep penelitian tertentu (Notoatmodjo, 2010). Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu gambaran pelaksanaaninitial assessmentdi Instalasi Gawat Darurat RSUD Indramayu yang terdiri dari subvariabel meliputi tahap primary survey dan secondary survey.
D.    Instrumen Penelitian
Alat pengumpul data yang digunakan yaitu lembar observasi.Observasi yang digunakan adalah observasi terstruktur di mana peneliti menggunakan format pengkajian IGD RSUD Indramayu dan teori keperawatan gawat darurat. Hasil observasi dengan alternatif pilihan “ya” diberi skor 1 dan jika “tidak” diberi skor 0.
Pada pelaksanaan penelitian dengan metode observasi seringkali antara peneliti dengan numerator (pengumpul data) terjadi perbedaan persepsi terhadap kejadian yang diamati (pelaksanaan Initial Assessment). Agar data yang dihasilkannya valid, maka harus ada penyamaan persepsi antara peneliti dengan petugas pengumpul data (numerator). Uji interrater reliability merupakan jenis uji yang digunakan untuk menyamakan persepsi antara peneliti dengan petugas pengumpul data.Alat yang digunakan untuk uji interrater adalah uji statistik Kappa.
Prinsip ujinya: bila hasil uji Kappa signifikan/bermakna maka persepsi antara peneliti dengan numerator sama, sebaliknya bila hasil uji kappa tidak signifikan/bermakna, maka persepsi antara peneliti dengan numerator terjadi perbedaan.
1.         Ketentuan uji antara lain: dilakukan terhadap masing-masing aspek yang diobservasi;  Peneliti dan si pegumpul data bersama-sama mengobservasi; dan waktu mengobservasi antara peneliti dan si pengumpul data tidak boleh berbeda.
2.         Prinsip Uji antara lain: jika nilai koefisien kappa > 0,6 atau p value ≤ alpha (0,05), maka persepsi antara peneliti dengan si pengumpul data sama (artinya aspek yang ditanyakan dalam lembar observasi dikategorikan baik). Sedangkan jika nilai koefisien kappa < 0,6 atau p value ³ alpha (0,05), maka persepsi antara peneliti dengan si pengumpul data terjadi perbedaan (artinya aspek yang ditanyakan dalam lembar observasi dikategorikan lemah/kurangbaik).
E.     Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini akan dilakukan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Indramayu pada bulan Pebruari 2016. Proses penelitian selama kurang lebih 2 minggu.


F.     Etika Penelitian
Pada saat pengumpulan data dengan melakukan pengamatan terhadap pasien, hal lain yang sangat penting terkait dengan aspek hukum dan tanggung jawab dan tanggung gugat, yaitu Informed Consent. Baik pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa pengamtan terhadap pasien tidak menimbulkan resiko dan tidak merugikan bagi responden dan kerahasiaaan semua informasi yang diberikan akan dijaga dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian. Oleh karena itu setiap pasien yang menjadi responden penelitian wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan kesediaan menjadi responden.
Informed Consent sebagai wujud dari upaya peneliti untuk menjunjung tinggi aspek etik hukum, maka pasien atau orang yang bertanggung jawab terhadap pasien wajib untuk menandatangani surat pernyataan persetujuan menjadi responden. Artinya apapun tindakan penelitian yang dilakukan, pasien mengetahui manfaat dan tujuan serta segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penelitian. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena jika tidak penyesalan akan dialami oleh responden setelah tindakan pengamatan yang dilakukan ternyata dapat merugikan responden.
G.    Prosedur Pengumpulan Data
1.      Jenis Data
Pengumpulan data diperoleh dari dua jenis data, yaitu:
a.       Data Primer
Pengumpulan data yang diperoleh secara langsung dengan mengamati pelaksanaan initial assessment pada pasien gawat darurat oleh perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Indramayu melalui lembar observasi.
b.      Data Sekunder
Data yang diperoleh dari rekam medik Rumah Sakit Umum Daerah Indramayu mengenai jumlah pasien gawat darurat di IGD RUSD Indramayu.
2.      Prosedur Pengumpulan
Prosedur pengumpulan data hasil penelitian dilakukan dengan beberapa tahap sebagai berikut:
a.       Perizinan Penelitian
Sebelum melakukan penelitian,terlebih dahulu peneliti meminta surat pengantar penelitian dari pihak akademik yang selanjutnya mengajukan permohonan ijin ke direktur RSUD Indramayu melalui kepala bidang Diklat dan Wasdal RSUD Indramayu tempat dimana peneliti akan melakukan penelitian.Setelah ijin penelitian sudah didapatkan maka peneliti baru bias melakukan pengumpulan data.
b.      Pelaksanaan Pengumpulan Data
Pelaksanaan pengumpulan data ini dilakukan sendiri oleh peneliti dengan prosedur yang ditempuh dalam pelaksanaan pengumpulan data ini adalah sebagai berikut:
1)        Memberikan informed concent kepada keluarga pasien gawat darurat objek penelitian sebagai bentuk kesediaan dijadikan sampel penelitian.
2)        Mengamati pelaksanaan initial assessment yang dilakukan oleh perawat terhadap pasien gawat darurat.
3)        Memberikan informasi berkaitan dengan kepentingan penelitian dan memberikan petunjuk pengisian alat pengumpul data.
4)        Mengumpulkan hasil observasi sebagai hasil pengumpulan data primer dari responden dan melakukan cek ulang untuk memeriksa kelengkapan identitas dan hasil observasi pada setiap lembar observasi.
5)        Menghitung hasil observasi dan memberikan skor.
H.    Prosedur Pengolahan dan Analisis Data
1.      Prosedur Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan akan diolah dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.         Editing, tahap pemeriksaan kelengkapan data dan kesinambungan data serta keseragaman data. Penulis melakukan pemeriksaan indetitas pengamatan, kelengkapan hasil observasi, jika terdapat kesalahan atau kekurangan maka penulis dapat segera melakukan perbaikan dengan mengembalikan instrumen penelitian untuk diisi dengan lengkap.
b.        Coding, tahap memberikan simbol-simbol tertentu (biasanya dalam bentuk angka) untuk setiap aspek yang diamati sesuai dengan simbol untuk masing-masing skor untuk selanjutnya data yang ditetapkan untuk diolah kemudian diberi skor untuk hasil observasi sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan.
c.         Entry Data, tahap memasukkan data-data hasil penelitian dari masing-masing skor per item dengan dengan menggunakan komputerisasi disajikan dalam bentul tabel distribusi frekuensi.
d.        Tabulating Data, tahap mengelompokkan sesuai dengan variabel dan kategorinya guna memudahkan dalam menganalisisnya.


2.      Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan pada variabel pelaksanaan initial assessment menggunakan rumus persentase sebagai berikut :
Keterangan:
P          : Persentase
X         : Skor hasil observasi
N         : Jumlah item

Hasil persentase lalu diinterpretasikan dengan menggunakan standar kriteria kualitatif  sebagai berikut :
a.       Kategori sesuai, jika didapat skor ≥ 75%
b.      Kategori tidak sesuai, jika didapat skor < 75%








0 comments