BAB II
KAJIAN TEORI
2.1
Kecerdasan
Emosi
2.1.1 Pengertian Kecerdasan
Emosi
Istilah
kecerdasan emosi diusung dari Barat, yang berasal dari kata emotional
intellegence. Intellegence menurut bahasa berarti kecerdasan. Dan menurut
istilah intellegen ialah kemampuan seseorang untuk berfikir secara abstrak.[1]
Sedangkan kata emosional berasal dari bahasa Latin, yaitu motere yang
berarti bergerak.[2]
Sedangkan menurut istilah kecerdasan emosi ialah merupakan kecerdasan yang
bersifat kualitatif, lebih mengarah pada objek-objek fenomenal kedirian (in
ward looking).[3]
Istilah kecerdasan emosi baru dikenal
secara luas pertengahan 90-an dengan diterbitkannya buku Daniel Goleman: Emotioned
Intelligence. Sebenarnya Goleman telah melakukan riset kecerdasan emosi
(EQ) ini lebih dari 10 tahun. la menunggu waktu sekian lama untuk mengum-pulkan
bukti ilmiah yang kuat. Sehingga saat Goleman mempublikasikan penelitiannya, Emotional
Intelligence, mendapat sambutan positif baik dari akademisi maupun praktisi.
Goleman menjelaskan kecerdasan emosi (Emotional Intelligence) adalah kemampuan untuk mengenali perasaan
kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan
dengan orang lain.[4]
Sedangkan menurut Peter Salovey dan Jack Mayer, kecerdasan
emosional (EQ) adalah suatu kemampuan untuk mensinergikan antara perasaan
dengan pikiran, melalui kenali, meraih dan membangkitkan perasaan untuk
membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan
secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.[5]
Ary Ginanjar Agustian mengatakan bahwa yang termasuk dalam
kecerdasan emosional adalah seperti pribadi yang tangguh, penuh inisiatif,
mudah beradaptasi, daya kreativitas yang tinggi, mental yang kuat terhadap
setiap kegagalan, kepercayaan diri dan penuh motivasi.[6]
Pendapat Ary Ginanjar Agustian ini senada dengan pernyataan Daniel
Goleman tentang kecerdasan emosional. la menyatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan yang dapat berupa kemampuan untuk memotivasi diri sendiri agar
bisa tahan dalam menghadapi frustasi, tidak larut dalam kesenangan yang
berlebih-lebihan, mengatur suasana hati dan menjaganya agar terhindar dari
beban stres yang dapat melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdo'a.[7]
Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa kecerdasan emosional
adalah berkaitan dengan kemampuan untuk mengendalikan perasaan atau emosi,
sehingga akan menimbulkan keteguhan hati dan penuh motivasi. Kondisi ini akan
mempengaruhi tentang kecerdasan intelektual, dengan demikian, ketenangan emosi
maupun perasaan, akan menimbulkan pemikiran yang cemerlang, sehingga dapat mengatasi
setiap persoalan.[8]
Sejumlah teoretikus mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan
besar, meskipun tidak semua sepakat tentang golongan itu. Calon-calon
utama dan beberapa anggota golongan tersebut adalah:
• Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati,
terganggu, rasa pahit,
tersinggung, bermusuhan, dan barangkali yang paling hebat, tindak
kekerasan dan kebencian patologis,
•
Kesedihan:
pedih,
sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus
asa, dan kalau menjadi patologis, depresi berat.
• Rasa takut: cemas,
takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, khawatir,
waspada, sedih, tidak tenang, ngeri, takut sekali, kecut
sebagai patologi, fobia
dan panik.
• Kenikmatan: bahagia,
gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan
indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar
biasa, senang, senang sekali, dan batas ujungnya mania.
• Cinta: penerimaan, persahabatan,
kepercayaan, kebaikan hat, rasa dekat, bakti, hormat,
kasmaran, kasih.
• Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, terpana.
• Jengkel: hina, jijik, muak,
mual, benci, tidak suka, mau muntah.
EQ adalah kernampuan untuk merasa. Kunci
kecerdasan emosi adalah pada kejujuran Anda, pada suara hati.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh HR
Muslim, Nabi Muhammad menyatakan: "Dosa membuat hati menjadi gelisah.[10]
2.1.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Menurut Agustian faktor-faktor yang
berpengaruh dalam peningkatan kecerdasan emosi yaitu:
a.
Faktor Psikologi
Faktor psikologis merupakan faktor
yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini akan membantu
individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan
keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Menurut
Goleman kecerdasan emosi erat kaitannya dengan keadaan otak emosional.Bagian otak
yang mengurusi emosi adalah sistem limbik. Sistem limbik terletak jauh dalam
hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan
impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara fisiologis dapat dilakukan dengan
puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan dorongan fisiologis manusia, namun juga
mampu mengendalikan kekuasaan impuls emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya
yaitu puasa sunah Senin
Kamis.
b.
Faktor Pelatihan Emosi
Kegiatan yang dilakukan secara
berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan
menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi
emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan.
Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa sunah
Senin Kamis, dorongan, keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih
agar tidak dilampiaskan begitu saja sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa
itu sendiri. Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan
menghadirkan suara hati yang jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan
kecerdasan emosi.
c.
Faktor Pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu
sarana belajar individu untuk mengembangkan kecerdasan emosi.Individu mulai
dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui
pendidikan.Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi
juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak
boleh hanya menekankan pada kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan
dunia dan akhirat, serta menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja.
Pelaksanaan puasa sunah Senin Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk
pengalaman keagamaan yang memunculkan kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis
mampu mendidik individu untuk memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas,
ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau
sinergi, sebagai bagian dari pondasi kecerdasan emosi.[11]
2.1.3 Ciri-ciri Kecerdasan Emosi
Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah:
·
Mereka yang
mampu mengendalikan diri (mengendalikan gejolak emosi),
·
Memelihara
dan memacu motivasi untuk terus berupaya dan tidak mudah menyerah atau putus
asa,
·
Mampu
mengendalikan dan mengatasi stres,
·
Mampu
menerima kenyataan, dan
2.2 Prestasi
2.2.1 Pengertian Prestasi
Prestasi
ialah hasil yang telah dicapai.[13]
Dan jika prestasi dikaitkan dengan pelajaran, maka dapat diartikan sebagai penguasaan
pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui pelajaran dan lazimnya
ditunjukkan dengan nilai tes ataupun angka nilai yang diberikan oleh seorang
guru.
Menurut
WS. Winkell prestasi merupakan hasil belajar yang ditampakkan oleh siswa
berdasarkan kemampuan internal yang diperoleh sesuai dengan tujuan instruksional. Dan
menurut Sutratinah Tirtonegoro prestasi ialah sebagai hasil dari pengukuran serta
penilaian usaha belajar. Prestasi ini dinyatakan dalam bentuk angka, huruf,
maupun simbol yang ditentukan pada tiap-tiap periode tertentu.[14]
2.2.2 Faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar
Prestasi
belajar merupakan hasil yang telah dicapai oleh peserta didik selama dalam
proses pembelajaran, yang pastinya memiliki faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi hasil tersebut. Dalam hal ini Ahmadi dan Widodo mengungkapkan,
bahwa ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar, diantaranya:
1.
Faktor Internal
a.
Faktor jasmani (fisiologi), yaitu yang menyangkut pada fisik individu baik yang
bersifat bawaan ataupun yang diperoleh, antara lain penglihatan, pendengaran
dan lain-lain.
b.
Faktor psikologi, yaitu yang menyangkut pada psikis individu baik yang bersifat
bawaan ataupun yang diperoleh, antara lain:
-
Faktor intelektif yang meliputi faktor potensial (kecerdasan dan bakat) dan
faktor kecakapan nyata (prestasi yang telah dimiliki).
-
Faktor non intelektif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti: sikap,
minat, kebiasaan, kebutuhan, motivasi, emosi dan lain-lain.
2.
Faktor eksternal
a.
Faktor sosial seperti lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan kelompok.
b.
Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kesenian.
c.
Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar dan iklim.
d.
Faktor lingkungan spiritual dan keamanan.
Selain
dari faktor-faktor di atas Nana Sudjana juga mengungkapkan bahwa faktor
kemampuan siswa juga besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang
dicapai, di samping faktor kemampuan yang dimiliki siswa, juga ada faktor lain,
seperti: motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar,
ketekunan, sosial, ekonomi, faktor fisik dan psikis.
Senada dengan Ahmadi dan Widodo,
Soemadi Suryabrata membagi menjadi 2 faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar,
diantaranya:
1. Faktor intern (dalam diri)
a.
Faktor fisiologi, yaitu yang menyangkut pada jasmani.
b.
Faktor psikologi, yaitu yang menyangkut pada rohani seperti perasaan, kreatif dan
lain -lain.
2. Faktor eksternal (dari luar)
a. Sosial yaitu yang menyangkut
manusia sekitarnya.
b. Non sosial, seperti waktu, letak
sekolah, alat-alat sekolah dan lain-lain.[15]
2.3 Aqidah Akhlak
2.3.1 Pengertian Aqidah
Aqidah berasal dari kata 'aqada-ya'qidu-'aqdan yang berarti
simpul, ikatan, dan perjanjian yang kokoh dan kuat. Setelah terbentuk menjadi 'aqidatan
(aqidah) berarti kepercayaan atau keyakinan. Kaitan antara aqdan dengan
'aqidatan adalah bahwa keyakinan itu tersimpul dan tertambat dengan
kokoh dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian. Makna aqidah
secara etimologis ini akan lebih jelas apabila dikaitkan dengan pengertian
terminologisnya, seperti diungkapkan oleh Hasan al-Banna dalam Majmu' ar-Rasaail:
"'Aqaid (bentuk
jamak dari 'aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini
kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang
tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan".
Dan dikemukakan pula oleh Abu Bakar Al-Jazairi dalam kitab 'Aqidah
al-Mukmin:
"Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara mudah
oleh manusia berdasarkan akal, wahyu (yang didengar) dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan dalam hati, dan
ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu."
Dari dua pengertian tersebut ada beberapa hal penting yang harus
diperhatikan dalam memahami aqidah secara lebih tepat dan jelas.
Pertama, setiap manusia memiliki fitrah untuk mengakui kebenaran
dengan potensi yang dimilikinya. Indra dan akal di gunakan untuk mencari dan
menguji kebenaran, sedangkan wahyu menjadi pedoman untuk menentukan mana yang
baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah hendaknya manusia menempatkan fungsi
masing-masing alat tersebut pada posisi yang sebenarnya.[16]
Allah swt. Berfirman:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur. (An-Nahl, 16:78)[17]
Dan
Firman-Nya:
@÷dr'¯»t É=»tGÅ6ø9$# ôs% öNà2uä!$y_ $oYä9qßu ÚúÎiüt7ã öNä3s9 #ZÏW2 $£JÏiB öNçFYà2 cqàÿøéB z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# (#qàÿ÷ètur Ætã 9ÏV2 4 ôs% Nà2uä!%y` ÆÏiB «!$# ÖqçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7B ÇÊÎÈ Ïôgt ÏmÎ/ ª!$# ÇÆtB yìt7©?$# ¼çmtRºuqôÊÍ @ç7ß ÉO»n=¡¡9$# Nßgã_Ì÷ãur z`ÏiB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ¾ÏmÏRøÎ*Î/ óOÎgÏôgtur 4n<Î) :ÞºuÅÀ 5OÉ)tGó¡B ÇÊÏÈ
Hai
ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu
banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang)
dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang menerangkan.
dengan
kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu
dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus.(Al-Maidah, 5: 15-16)[18]
Kedua, Keyakinan itu harus bulat dan penuh, tidak berbaur dengan
kesamaran dan keraguan. Oleh karena itu, untuk sampai kepada keyakinan, manusia
harus memiliki ilmu sehingga ia dapat menerima kebenaran dengan sepenuh hati
setelah mengetahui dalil-dalilnya.
Allah swt. Berfirman:
zNn=÷èuÏ9ur úïÏ%©!$# (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# çm¯Rr& ,ysø9$# `ÏB Îi/¢ (#qãZÏB÷sãsù ¾ÏmÎ/ |MÎ6÷çGsù ¼ã&s! öNßgç/qè=è% 3 ¨bÎ)ur ©!$# Ï$ygs9 tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä 4n<Î) :ÞºuÅÀ 5OÉ)tGó¡B ÇÎÍÈ
Dan
agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran Itulah
yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan
Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada
jalan yang lurus. (Al- Hajj, 22:54)[19]
Ketiga, aqidah harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang
meyakininya. Untuk itu diperlukan adanya keselarasan antara keyakinan lahiriah
dan batiniah, Pertentangan antara kedua hal tersebut akan melahirkan
kemunafikan. Sikap munafik ini akan mendatangkan kegelisahan.[20]
`ÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB ãAqà)t $¨YtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$$Î/ur ÌÅzFy$# $tBur Nèd tûüÏYÏB÷sßJÎ/ ÇÑÈ
Di antara manusia ada
yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada
hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al- Baqarah, 2:8) [21]
¨bÎ) tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# tbqããÏ»sä ©!$# uqèdur öNßgããÏ»yz #sÎ)ur (#þqãB$s% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qãB$s% 4n<$|¡ä. tbrâä!#tã }¨$¨Z9$# wur crãä.õt ©!$# wÎ) WxÎ=s% ÇÊÍËÈ tûüÎ/xö/xB tû÷üt/ y7Ï9ºs Iw 4n<Î) ÏäIwàs¯»yd Iwur 4n<Î) ÏäIwàs¯»yd 4 `tBur È@Î=ôÒã ª!$# `n=sù yÅgrB ¼ã&s! WxÎ6y ÇÊÍÌÈ
Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka dan
apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali.
Mereka
dalam Keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk
kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu
(orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk
memberi petunjuk) baginya.(An-Nisaa, 4:142-143)[22]
Keempat, apabila
seseorang telah meyakini suatu kebenaran, maka konsekuensinya ia harus sanggup membuang jauh-jauh
segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang di yakininya itu.[23]
2.3.2
Pengertian Akhlak
Secara bahasa, pengertian akhlak diambil dari bahasa arab yang
berarti: (a) perangai. tabiat, adat (diambil dan kata dasar khuluqun), (b)
kejadian, buatan, ciptaan (diambil dari kata dasar khalqun). Adapun
pengertian akhlak secara terminologis, para ulama telah banyak mendefinisikan,
di antaranya Ibn Maskawaih dalam bukunya Tahdzib al-Akhlaq, beliau
mendefinisikan akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan.
Selanjutnya Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulum al-Din menyatakan
bahwa akhlak adalah gambaran tingkah laku dalam jiwa yang dari padanya lahir
perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Dari dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan
atau sikap dapat dikategorikan akhlak apabila memenuhi kriteria sebagai
berikut:
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam
jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya. Kedua, perbuatan
akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran. Ini tidak
berarti bahwa pada saat melakukan suatu perbuatan yang bersangkutan dalam
keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur. mabuk, atau gila. Ketiga, perbuatan
akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya
tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Keemnpat, perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main,
berpura-pura atau karena bersandiwara.
Dalam perkembangan selanjutnya akhlak tumbuh menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri, yaitu ilmu yang
memiliki ruang lingkup pembahasan, tujuan, rujukan, aliran dan para tokoh yang
mcngembangkannya. Kesemua aspek yang terkandung dalam akhlak kemudian membentuk
satu kesatuan yang saling berhubungan dan membentuk suatu ilmu.[24]
Jadi
pelajaran aqidah akhlak dapat diartikan sebagai suatu cabang ilmu yang
mengajarkan tentang tata cara dalam
berhubungan, baik dengan Tuhannya ataupun dengan sesamanya sesuai dengan
kaidah-kaidah Islam.
2.3.3
Macam-macam Akhlak
2.3.3.1 Akhlakul Karimah
Akhlakuk Karimah ialah akhlak yang terpuji yaitu perbuatan mulia
yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan atas dasar kesadaran
jiwa, bukan karena keterpaksaan. Nabi Muhammad SAW, diutus sebagai Rasul tidak
lain hanya untuk menyempurnakan akhlak atau budi pekerti yang mulia.
Sumber Akhlakul Karimah
1. Agama, yaitu akhlak yang bersumber dari Al-Qur'an.. Karena
Al-Qur'an merupakan akhlak Rasulullah SAW.
2. Tradisi atau adat kebiasaan yang terpuji yang tidak
bertentangan dengan agama, misalnya berbicara halus dan sopan kepada
orang yang lebih tua dengan menggunakan bahasa Jawa Kromo.[25]
2.3.3.2
Akhlaqul Madzmudah
Akhlakul madzmumah ialah akhlak tercela yang dilakukan berulang
kali sehingga menjadi kebiasaan dan sudah menjadi karakternya, bukan dengan
paksaan atau tanpa kesengajaan. Akhlak yang tercela ini harus dijauhkan dari
kaum muslimin. Dan hanya dengan pengetahuan agama akhlak ini bisa dirubah
menjadi baik.[26]
2.3.4 Tujuan
Pembelajaran Aqidah Akhlak
Setiap
sekolah dalam menerapkan bahan ajarnya pasti
memiliki tujuan. Adapun tujuan dari pelajaran aqidah akhlak sebagai
berikut:
1. Penanaman nilai ajaran Islam
sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
2. Pengembangan keimanan
dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta
akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih
dahulu dalam lingkungan keluarga.
3. Penyesuaian mental peserta didik
terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui aqidah akhlak.
4. Perbaikan kesalahan-kesalahan,
kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama
Islam dalam kehidupan sehari-hari.
5. Pencegahan peserta didik dari
hal-hal negatif dari lingkungannya ataupun dari budaya asing yang akan
dihadapinya sehari-hari.
6. Pengajaran tentang informasi dan
pengetahuan keimanan dan akhlak, serta sistem dan fungsionalnya.
7. Penyaluran peserta didik untuk
mendalami aqidah akhlak pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.[27]
[11]http://usefulteaching.blogspot.com/2012/03/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html, di unggah hari Rabu, Tgl 15 Januari 2014, pada pukul 19:15
Wib.
0 comments