BAB III KAJIAN TEORI KECERDASAN EMOSI

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1  Kecerdasan Emosi
2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosi
Istilah kecerdasan emosi diusung dari Barat, yang berasal dari kata emotional intellegence. Intellegence menurut bahasa berarti kecerdasan. Dan menurut istilah intellegen ialah kemampuan seseorang untuk berfikir secara abstrak.[1] Sedangkan kata emosional berasal dari bahasa Latin, yaitu motere yang berarti bergerak.[2] Sedangkan menurut istilah kecerdasan emosi ialah merupakan kecerdasan yang bersifat kualitatif, lebih mengarah pada objek-objek fenomenal kedirian (in ward looking).[3]
Istilah kecerdasan emosi baru dikenal secara luas pertengahan 90-an dengan diterbitkannya buku Daniel Goleman: Emotioned Intelligence. Sebenarnya Goleman telah melakukan riset kecerdasan emosi (EQ) ini lebih dari 10 tahun. la menunggu waktu sekian lama untuk mengum-pulkan bukti ilmiah yang kuat. Sehingga saat Goleman mempublikasikan penelitiannya, Emotional Intelligence, mendapat sambutan positif baik dari akademisi maupun praktisi.
Goleman menjelaskan kecerdasan emosi (Emotional In­telligence) adalah kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.[4]
Sedangkan menurut Peter Salovey dan Jack Mayer, kecerdasan emosional (EQ) adalah suatu kemampuan untuk mensinergikan antara perasaan dengan pikiran, melalui kenali, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.[5]
Ary Ginanjar Agustian mengatakan bahwa yang termasuk dalam kecerdasan emosional adalah seperti pribadi yang tangguh, penuh inisiatif, mudah beradaptasi, daya kreativitas yang tinggi, mental yang kuat terhadap setiap kegagalan, kepercayaan diri dan penuh motivasi.[6]
Pendapat Ary Ginanjar Agustian ini senada dengan pernyataan Dan­iel Goleman tentang kecerdasan emosional. la menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan yang dapat berupa kemampuan untuk memotivasi diri sendiri agar bisa tahan dalam menghadapi frustasi, tidak larut dalam kesenangan yang berlebih-lebihan, mengatur suasana hati dan menjaganya agar terhindar dari beban stres yang dapat melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdo'a.[7]
Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa ke­cerdasan emosional adalah berkaitan dengan kemampuan untuk mengendalikan perasaan atau emosi, sehingga akan menimbulkan keteguhan hati dan penuh motivasi. Kondisi ini akan mempengaruhi tentang kecerdasan intelektual, dengan demikian, ketenangan emosi maupun perasaan, akan menimbulkan pemikiran yang cemerlang, sehingga dapat mengatasi setiap persoalan.[8]
Sejumlah teoretikus mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar, meskipun tidak semua sepakat tentang golongan itu. Calon-calon utama dan beberapa anggota golongan tersebut adalah:
Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, tersinggung, bermusuhan, dan barangkali yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis,
Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis, depresi berat.
Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, khawatir, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri, takut sekali, kecut sebagai patologi, fobia dan panik.
Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang, senang sekali, dan batas ujungnya mania.
 Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hat, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.
 Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, terpana.
 Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah.
Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.[9]
EQ adalah kernampuan untuk merasa. Kunci kecerdasan emosi adalah pada kejujuran Anda, pada suara hati.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh HR Muslim, Nabi Muhammad menyatakan: "Dosa membuat hati menjadi gelisah.[10]
2.1.2        Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Menurut Agustian faktor-faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kecerdasan emosi yaitu:

a.            Faktor Psikologi
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Menurut Goleman kecerdasan emosi erat kaitannya dengan keadaan otak emosional.Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem limbik. Sistem limbik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara fisiologis dapat dilakukan dengan puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan dorongan fisiologis manusia, namun juga mampu mengendalikan kekuasaan impuls emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya yaitu puasa sunah Senin Kamis.
b.         Faktor Pelatihan Emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa sunah Senin Kamis, dorongan, keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar tidak dilampiaskan begitu saja sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara hati yang jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.
c.         Faktor Pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk mengembangkan kecerdasan emosi.Individu mulai dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan.Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah Senin Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk pengalaman keagamaan yang memunculkan kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu mendidik individu untuk memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau sinergi, sebagai bagian dari pondasi kecerdasan emosi.[11]
2.1.3  Ciri-ciri Kecerdasan Emosi
Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah:
·         Mereka yang mampu mengendalikan diri (mengendalikan gejolak emosi),
·         Memelihara dan memacu motivasi untuk terus berupaya dan tidak mudah menyerah atau putus asa,
·         Mampu mengendalikan dan mengatasi stres,
·         Mampu menerima kenyataan, dan
·         Dapat merasakan kesenangan meskipun dalam kesulitan.[12]
2.2  Prestasi
2.2.1 Pengertian Prestasi
Prestasi ialah hasil yang telah dicapai.[13] Dan jika prestasi dikaitkan dengan pelajaran, maka dapat diartikan sebagai penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui pelajaran dan lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes ataupun angka nilai yang diberikan oleh seorang guru.
Menurut WS. Winkell prestasi merupakan hasil belajar yang ditampakkan oleh siswa berdasarkan kemampuan internal yang diperoleh sesuai dengan tujuan instruksional. Dan menurut Sutratinah Tirtonegoro prestasi ialah sebagai hasil dari pengukuran serta penilaian usaha belajar. Prestasi ini dinyatakan dalam bentuk angka, huruf, maupun simbol yang ditentukan pada tiap-tiap periode tertentu.[14]

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar
Prestasi belajar merupakan hasil yang telah dicapai oleh peserta didik selama dalam proses pembelajaran, yang pastinya memiliki faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil tersebut. Dalam hal ini Ahmadi dan Widodo mengungkapkan, bahwa ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar, diantaranya:
1. Faktor Internal
a. Faktor jasmani (fisiologi), yaitu yang menyangkut pada fisik individu baik yang bersifat bawaan ataupun yang diperoleh, antara lain penglihatan, pendengaran dan lain-lain.
b. Faktor psikologi, yaitu yang menyangkut pada psikis individu baik yang bersifat bawaan ataupun yang diperoleh, antara lain:
- Faktor intelektif yang meliputi faktor potensial (kecerdasan dan bakat) dan faktor kecakapan nyata (prestasi yang telah dimiliki).
- Faktor non intelektif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti: sikap, minat, kebiasaan, kebutuhan, motivasi, emosi dan lain-lain.
2. Faktor eksternal
a. Faktor sosial seperti lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan kelompok.
b. Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kesenian.
c. Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar dan iklim.
d. Faktor lingkungan spiritual dan keamanan.
Selain dari faktor-faktor di atas Nana Sudjana juga mengungkapkan bahwa faktor kemampuan siswa juga besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai, di samping faktor kemampuan yang dimiliki siswa, juga ada faktor lain, seperti: motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial, ekonomi, faktor fisik dan psikis.
Senada dengan Ahmadi dan Widodo, Soemadi Suryabrata membagi menjadi 2 faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar, diantaranya:
1. Faktor intern (dalam diri)
a. Faktor fisiologi, yaitu yang menyangkut pada jasmani.
b. Faktor psikologi, yaitu yang menyangkut pada rohani seperti perasaan, kreatif dan lain -lain.
2. Faktor eksternal (dari luar)
a. Sosial yaitu yang menyangkut manusia sekitarnya.
b. Non sosial, seperti waktu, letak sekolah, alat-alat sekolah dan lain-lain.[15]

2.3 Aqidah Akhlak
2.3.1 Pengertian Aqidah  
Aqidah berasal dari kata 'aqada-ya'qidu-'aqdan yang berarti simpul, ikatan, dan perjanjian yang kokoh dan kuat. Setelah terbentuk menjadi 'aqidatan (aqidah) berarti kepercayaan atau keyakinan. Kaitan antara aqdan dengan 'aqidatan adalah bahwa keyakinan itu tersimpul dan tertambat dengan kokoh dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian. Makna aqidah secara etimologis ini akan lebih jelas apabila dikaitkan dengan pengertian terminologisnya, seperti diungkapkan oleh Hasan al-Banna dalam Majmu' ar-Rasaail:
"'Aqaid (bentuk jamak dari 'aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan".
Dan dikemukakan pula oleh Abu Bakar Al-Jazairi dalam kitab 'Aqidah al-Mukmin:
"Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara mudah oleh manusia berdasarkan akal, wahyu (yang didengar) dan fitrah.  Kebenaran itu dipatrikan dalam hati, dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu."
Dari dua pengertian tersebut ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam memahami aqidah secara lebih tepat dan jelas.
Pertama, setiap manusia memiliki fitrah untuk mengakui kebenaran dengan potensi yang dimilikinya. Indra dan akal di gunakan untuk mencari dan menguji kebenaran, sedangkan wahyu menjadi pedoman untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah hendaknya manusia menempatkan fungsi masing-masing alat tersebut pada posisi yang sebenarnya.[16]
Allah swt. Berfirman:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (An-Nahl, 16:78)[17]
Dan Firman-Nya:
Ÿ@÷dr'¯»tƒ É=»tGÅ6ø9$# ôs% öNà2uä!$y_ $oYä9qßu ÚúÎiüt7ムöNä3s9 #ZŽÏWŸ2 $£JÏiB öNçFYà2 šcqàÿøƒéB z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# (#qàÿ÷ètƒur Ætã 9ŽÏVŸ2 4 ôs% Nà2uä!%y` šÆÏiB «!$# ÖqçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7B ÇÊÎÈ   Ïôgtƒ ÏmÎ/ ª!$# ÇÆtB yìt7©?$# ¼çmtRºuqôÊÍ Ÿ@ç7ß ÉO»n=¡¡9$# Nßgã_̍÷ãƒur z`ÏiB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ óOÎgƒÏôgtƒur 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ 5OŠÉ)tGó¡B ÇÊÏÈ  
Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.
dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.(Al-Maidah, 5: 15-16)[18]

Kedua, Keyakinan itu harus bulat dan penuh, tidak berbaur dengan kesamaran dan keraguan. Oleh karena itu, untuk sampai kepada keyakinan, manusia harus memiliki ilmu sehingga ia dapat menerima kebenaran dengan sepenuh hati setelah mengetahui dalil-dalilnya.
Allah swt. Berfirman:
zNn=÷èuÏ9ur šúïÏ%©!$# (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# çm¯Rr& ,ysø9$# `ÏB šÎi/¢ (#qãZÏB÷sãŠsù ¾ÏmÎ/ |MÎ6÷çGsù ¼ã&s! öNßgç/qè=è% 3 ¨bÎ)ur ©!$# ÏŠ$ygs9 tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ 5OŠÉ)tGó¡B ÇÎÍÈ  
Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (Al- Hajj, 22:54)[19]

Ketiga, aqidah harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang meyakininya. Untuk itu diperlukan adanya keselarasan antara keyakinan lahiriah dan batiniah, Pertentangan antara kedua hal tersebut akan melahirkan kemunafikan. Sikap munafik ini akan mendatangkan kegelisahan.[20]

š `ÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB ãAqà)tƒ $¨YtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$$Î/ur ̍ÅzFy$# $tBur Nèd tûüÏYÏB÷sßJÎ/ ÇÑÈ 
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al- Baqarah, 2:8) [21]

¨bÎ) tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# tbqããÏ»sƒä ©!$# uqèdur öNßgããÏ»yz #sŒÎ)ur (#þqãB$s% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qãB$s% 4n<$|¡ä. tbrâä!#tãƒ }¨$¨Z9$# Ÿwur šcrãä.õtƒ ©!$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÊÍËÈ   tûüÎ/xö/xB tû÷üt/ y7Ï9ºsŒ Iw 4n<Î) ÏäIwàs¯»yd Iwur 4n<Î) ÏäIwàs¯»yd 4 `tBur È@Î=ôÒムª!$# `n=sù yÅgrB ¼ã&s! WxÎ6y ÇÊÍÌÈ  
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.
Mereka dalam Keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.(An-Nisaa, 4:142-143)[22]

Keempat, apabila seseorang telah meyakini suatu kebenaran, maka konsekuensinya ia harus sanggup membuang jauh-jauh segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang di yakininya itu.[23]

2.3.2 Pengertian Akhlak
Secara bahasa, pengertian akhlak diambil dari bahasa arab yang berarti: (a) perangai. tabiat, adat (diambil dan kata dasar khuluqun), (b) kejadian, buatan, ciptaan (diambil dari kata dasar khalqun). Adapun pengertian akhlak secara terminologis, para ulama telah banyak mendefinisikan, di antaranya Ibn Maskawaih dalam bukunya Tahdzib al-Akhlaq, beliau mendefinisikan akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan. Selanjutnya Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulum al-Din menyatakan bahwa akhlak adalah gambaran tingkah laku dalam jiwa yang dari padanya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Dari dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan atau sikap dapat dikategorikan akhlak apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan suatu perbuatan yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur. mabuk, atau gila. Ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Keemnpat, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main, berpura-pura atau karena bersandiwara.
Dalam perkembangan selanjutnya akhlak tumbuh menjadi suatu  ilmu yang berdiri sendiri, yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup pembahasan, tujuan, rujukan, aliran dan para tokoh yang mcngembangkannya. Kesemua aspek yang terkandung dalam akhlak kemudian membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan dan membentuk suatu ilmu.[24]
Jadi pelajaran aqidah akhlak dapat diartikan sebagai suatu cabang ilmu yang mengajarkan tentang tata cara dalam  berhubungan, baik dengan Tuhannya ataupun dengan sesamanya sesuai dengan kaidah-kaidah Islam.

2.3.3 Macam-macam Akhlak
2.3.3.1 Akhlakul Karimah
Akhlakuk Karimah ialah akhlak yang terpuji yaitu perbuatan mulia yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan atas dasar kesadaran jiwa, bukan karena keterpaksaan. Nabi Muhammad SAW, diutus sebagai Rasul tidak lain hanya untuk menyempurnakan akhlak atau budi pekerti yang mulia.
Sumber Akhlakul Karimah
1. Agama, yaitu akhlak yang bersumber dari Al-Qur'an.. Karena Al-Qur'an merupakan akhlak Rasulullah SAW.
2. Tradisi atau adat kebiasaan yang terpuji yang tidak bertentangan dengan agama, misalnya berbicara halus dan sopan kepada orang yang lebih tua dengan menggunakan bahasa Jawa Kromo.[25]
2.3.3.2 Akhlaqul Madzmudah
Akhlakul madzmumah ialah akhlak tercela yang dilakukan berulang kali sehingga menjadi kebiasaan dan sudah menjadi karakternya, bukan dengan paksaan atau tanpa kesengajaan. Akhlak yang tercela ini harus dijauhkan dari kaum muslimin. Dan hanya dengan pengetahuan agama akhlak ini bisa dirubah menjadi baik.[26]
2.3.4 Tujuan Pembelajaran Aqidah Akhlak
Setiap sekolah dalam menerapkan bahan ajarnya pasti  memiliki tujuan. Adapun tujuan dari pelajaran aqidah akhlak sebagai berikut:
1. Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
2. Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT  serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga.
3. Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui aqidah akhlak.
4. Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
5. Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif dari lingkungannya ataupun dari budaya asing yang akan dihadapinya sehari-hari.
6. Pengajaran tentang informasi dan pengetahuan keimanan dan akhlak, serta sistem dan fungsionalnya.
7. Penyaluran peserta didik untuk mendalami aqidah akhlak pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.[27]






                [1] Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Inteligensi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. III, hlm. 7
                [2] Jeanne Segal, Melejitkan Kepekaan Emosional; Cara Baru Untuk Mendayagunakan Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda (Bandung: Kaifa, 2001) hlm. 32
                [3] Suharsono, Mencerdaskan Anak, ; Mensintesakan Kembali Intelegensi Umum (IQ) dan Intelegensi Emosi(IE) dengan Intelegensi Spiritual(IS) (Jakarta, Intisari Press, 2000), Cet. I, hlm. 38
                [4] Agus Nggermanto,Quantum Quotient Kecerdasan Quantum, cara praktis melejitkan IQ,EQ  Dan SQ hal. 98
                [5] Dakir, dan . H. Sardimi, Pendidikan Islam dan ESQ, hal 70-71
                [6] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun(Jakarta: Arga,2004) ,hlm 56
                [7] Daniel Golernan,  Emotional Intelegence  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama, 2002), h.43-45.
                [8] Dakir, dan . H. Sardimi, Pendidikan Islam dan ESQ, h. 72
                [9] Daniel Golernan,  Emotional Intelegence  (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama, 2002),   h. 411-412
                [10] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual;Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2001), Cet. 50, h. 9
                [11]http://usefulteaching.blogspot.com/2012/03/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html, di unggah hari Rabu, Tgl 15 Januari 2014, pada pukul 19:15 Wib.
                [12] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung:Rosda, 2011) cet.6 h. 97
                [13] Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005) Ed. III, h. 895.
                [14] Sutratinah Tirtonegoro, Anak Supernormal dan Program Pendidikannya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), Cet. II, h. 43.
                [15] Abu Ahmadi, Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), Cet. II, h. 131-132.
                [16] Buku Teks pendidikan Agama Islam,(Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI,21) h. 101-102.
                [17]  Soenarjo, Al-qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta, Depag RI, 1989) h. 413.
                [18]  Soenarjo, Al-qur’an dan Terjemahnya, h. 161.
                [19]  Soenarjo, Al-qur’an dan Terjemahnya,) h. 520.
                [20] Buku Teks pendidikan Agama Islam,h. 103.
                [21] Soenarjo, Al-qur’an dan Terjemahnya, h.9
                [22] Soenarjo, Al-qur’an dan Terjemahnya, h.146
                [23] Buku Teks pendidikan Agama Islam,h. 104
[24] Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam,( (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 17-19.

                [25] Abu Khalid, Rangkuman Pengetahuan Agama Islam Lengkap, (Surabaya: Karya Ilmu, 2010) h.142
                [26] Abu Khalid, Rangkuman Pengetahuan Agama Islam Lengkap, h.150
                [27] Depag RI,  Standar Kompetensi Madrasah Tsanawiyah, (Jakarta, Dirjen Binbaga Islam, 2004), h. 22.

0 comments