STRATIFIKASI SOSIAL
A. Pengertian
Ketidaksamaan sosial (social unequality)
merupakan suatu fenomena yang ditemukan pada setiap masyarakat, betapapun
sederhana maupun kompleksnya masyarakat tersebut. Ketidaksamaan sosial yang
dimaksud adalah ketidaksamaan di bidang kekuasaan, di bidang ekonomi, ilmu
pengetahuan, atau prestise (kehormatan) dalam masyarakat. Sebagian anggota
masyarakat memiliki kekuasaan, sedangkan yang lainnya dikuasai; sebagian
anggota masyarakat memiliki kekayaan, sementara yang lainnya berada dalam garis
kemiskinan; sebagian masyarakat memiliki ilmu pengetahuan, sedangkan sebagian
lainnya tidak cukup memiliki pengetahuan; dan sebagainya. Pembedaan anggota
masyarakat berdasarkan hal-hal di atas dalam sosiologi dinamakan stratifikasi
sosial (social stratification).
Piktrim A. Sorokin (1959:11) memberikan pengertian pada stratifikasi sosial
sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat (hirarkhis). Perwujudan adalah adanya kelas tinggi dan kelas rendah
dalam masyarakat. Lebih lanjut Sorokin mengatakan bahwa dasar dan inti lapisan-lapisan
dalam masyarakat itu adalah karena tidak adanya keseimbangan dalam pembagian
hak-hak, kewajiban dan tanggung jawab, serta dalam pembagian nilai-nilai sosial
dan pengaruhnya di antara para anggota masyarakat itu.
Awal lahirnya sejumlah teori mengenai stratifikasi sosial menurut para
ahli sosiologi adalah adanya perubahan masyarakat tradisional ke arah
masyarakat modern. Perubahan sosial tersebut menimbulkan pergeseran peran serta
fungsi dari institusi-institusi lama ke institusi-institusi baru. Dalam hal ini
terdapat kecenderungan dari individu atau kelompok yang mempertahankan status quo dan memandang perubahan
sebagai suatu ancaman; di pihak lain terdapat golongan elit baru yang antusias
melancarkan ide-ide perubahan. Pergeseran-pergeseran tersebut melahirkan
sejumlah teori pelapisan sosial yang pada hakikatnya mengacu kepada tatanan
yang hirarkhis seperti tinggi – rendah: “kaya – miskin”, “priyayi – wong
cilik”, “kaum ningrat – rakyat jelata”, sebagaimana dikemukakan di atas.
Sejak berabad abad yang lalu orang telah mengakui adanya lapisan-lapisan
di dalam masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat-tingkat dari bawah ke
atas. Hal ini secara nyata dijelaskan oleh Filosof Yunani, Aristoteles bahwa pada masa dia hidup dan diduga pada
masa sebelumnya, di dalam setiap negara terdapat tiga elemen masyarakat, yaitu
mereka yang kaya sekali, mereka yang miskin, dan mereka yang berada di
tengah-tengahnya. Sehingga oleh Sorokin fenomena ini dikatakan sebagai suatu
ciri yang tetap dan umum bagi setiap masyarakat yang hidup teratur (organized). Barang siapa yang memiliki
sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak, dianggap oleh masyarakat
bahwa mereka berkedudukan dalam lapisan atas. Mereka yang sedikit sekali atau
sama sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga tersebut, dalam pandangan
masyarakat mereka mempunyai kedudukan yang rendah. Biasanya golongan yang
berada dalam lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang
dihargai oleh masyarakat, tetapi posisinya yang tinggi itu bersifat kumulatif.
Artinya mereka yang memiliki uang dalam jumlah yang banyak, misalnya, akan
mudah sekali mendapatkan benda-benda berharga, kekuasaan, dan bahkan juga
kehormatan.; sedangkan mereka yang mempunyai kekuasaan besar mudah menjadi kaya
raya dan mudah mengusahakan ilmu pengetahuan.
Bernard Berber dalam Social
Stratification, Structure and Trends
of Social Mobility in Western Society, mengemukakan enam dimensi dari
pelapisan sosial (Taneko, 1984:97). Pertama adalah prestise jabatan atau
jabatan (occupational prestige).
Kedua, ranking dalam wewenang dan kekuasaan (authority
and power rangkings). Ketiga, pendapatan dan kekayaan (income or wealth). Keempat, pendidikan atau pengetahuan (educational or knowledge). Kelima,
kesucian/ketaatan beragama atau pimpinan keagamaan (religious or ritual purity), dan keenam adalah kedudukan dalam
kekerabatan atau kedudukan dalam suku-suku bangsa (kinship and ethic group rankings).
Unsur-unsur atau dimensi-dimensi dari pelapisan sosial tersebut pada
dasarnya sulit untuk dipisahkan secara tegas oleh karena dalam kenyataannya
tumpang tindih (akumulatif) antara satu sama lainnya atau bahkan saling
berhubungan seperti dikemukakan di atas.
B. Sifat Stratifikasi Sosial
Lapisan sosial dalam suatu masyarakat dapat bersifat tertutup (closed social stratification) dan ada
pula yang bersifat terbuka (open social
stratification). Lapisan masyarakat yang bersifat tertutup membatasi
kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lainnya (social mobility), baik yang merupakan
gerak ke atas (social climbing)
maupun gerak ke bawah (social sinking).
Dalam sistem yang demikian ini, satu-satunya jalan untuk menjadi anggota dari
suatu lapisan adalah karena kelahiran. Sebaliknya, di dalam masyarakat yang
terbuka setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk naik ke lapisan
atas dengan berbagai usaha yang dia lakukan sendiri; sedangkan bagi mereka yang
tidak beruntung, ada kemungkinan untuk jatuh dari lapisan atas ke lapisan di
bawahnya. Pada umumnya sistem terbuka ini memberi perangsang yang lebih besar
kepada setiap anggota masyarakat untuk mengembangkan kemampuannya. Oleh karena
itu, sistem ini lebih sesuai untuk dijadikan landasan bagi pembangunan
masyarakat daripada sistem lapisan tertutup.
C. Unsur-unsur Baku Stratifikasi Sosial
Unsur–unsur baku
dari pelapisan sosial menurut Soekanto (1990:256) adalah apa yang disebut
kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan adalah tempat atau
posisi seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang
lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta
kewajiban-kewajibannya.
Dalam realita kehidupan sosial, seseorang kadangkala mempunyai beberapa
macam kedudukan sehubungan dengan kerangka masyarakat secara menyeluruh.
Sebagai contoh: kedudukan Tuan A sebagai anggota masyarakat merupakan kombinasi
dari segenap kedudukannya sebagai suami dari nyonya B, ayah dari anak-anaknya,
ketua rukun warga, dan sebagai jaksa. Dalam kaitannya dengan dengan berbagai
kedudukan tersebut, biasanya yang selalu menonjol hanya satu kedudukan utama.
Atas dasar kedudukan yang utama itulah seseorang digolongkan ke dalam
kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.. Dalam contoh di atas, kedudukan sebagai
jaksa adalah kedudukan yang paling menonjol dari Tuan A, dan atas dasar
kedudukan utama (sebagai jaksa) itu Tuan A menduduki kelas tertentu dalam
masyarakatnya. Adakalanya antara kedudukan-kedudukan yang dimiliki seseorang
menimbulkan pertentangan-pertentangan yang disebut konflik kedudukan (status conflict). Misalnya Tuan A dalam
contoh sebelumnya harus menghukum anaknya yang telah melakukan tindak
kejahatan.
Seseorang dapat memperoleh kedudukan tertentu melalui cara tertentu pula.
Dalam hal ini terdapat dua cara. Pertama, kedudukan yang diperoleh secara
otomatis yang disebut ascribed status.
Menurut Ralph Linton kedudukan yang diperoleh adalah kedudukan yang diberikan
kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan individu yang dibawa
sejak lahir. Kedudukan yang termasuk ke dalam kategori ini ialah usia (anak-anak,
dewasa, dan lanjut usia), jenis kelamin (setiap masyarakat menetapkan kegiatan
dan sikap berbeda bagi laki-laki dan perempuan), hubungan kekerabatan, dan
kelahiran dalam suatu kelompok khusus seperti kasta atau kelas (Sunarto,
2004:55). Sedangkan yang kedua, kedudukan yang diraih (achieved status). Linton mendefinisikan achieved status sebagai kedudukan yang memerlukan kualitas
tertentu. Kedudukan jenis ini tidak diberikan pada individu sejak lahir
melainkan harus diraih melalui persaingan dan usaha pribadi, misalnya mi
dokter, pengacara, dosen, petani, pedagang, dan sebagainya.
Soerjono Soekanto (1990:266) menambahkan satu macam dari dua cara
mendapatkan kedudukan tersebut, yaitu assigned-status
atau kedudukan yang diberikan. Assigned-status
sering mempunyai hubungan yang erat dengan
achieved-status, dalam arti bahwa suatu kelompok atau golongan memberikan
kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa untuk kepentingan
masyarakat. Kadang-kadang kedudukan tersebut diberikan kepada seseorang yang
telah lama menduduki suatu kepangkatan (jabatan) tertentu, misalnya seorang
pegawai negeri dalam jangka waktu tertentu mengalami kenaikan pangkat secara
regular.
Kedudukan yang melekat pada diri seseorang dapat dilihat dalam kehidupan
sehari-hari melalui ciri-ciri tertentu, yang dalam sosiologi dinamakan status symbol. Penggunaan benda-benda
sebagai simbol kedudukan telah dipakai secara umum. Rumah mewah, mobil mewah,
perhiasan-perhiasan mewah, dan sebagainya seringkali mencerminkan kedudukan
seseorang di tengah-tengah masyarakatnya. Pada masyarakat-masyarakat tertentu,
kita dapat melihat adanya gelar-gelar kebangsawanan yang digunakan, seperti
pada masyarakat di Sulawesi Selatan (Andi; Daeng); Raden dan Raden Ajeng pada
masyarakat Jawa, dan sebagainya.
Dalam suatu institusi, individu-individu yang menjalankannya selalu
menempati kedudukan-kedudukan tertentu. Secara konkrit, yang menjalankan fungsi
dari institusi adalah seseorang atau beberapa orang yang disebut sebagai
fungsionaris, yaitu warga masyarakat yang telah menerima delagasi untuk
melakukan pengaturan terhadap pola-pola perilaku dalam rangka memenuhi
kebutuhan. Pada hakikatnya para fungsionaris itu terhimpun dalam suatu badan
organisasi yang dinamakan asosiasi. Dengan demikian, kedudukan pada dasarnya
merupakan suatu kompleks dari kewajiban-kewajiban dan yang mengandung hak-hak
bagi fungsionaris yang menempatinya (Taneko, 1990:86).
Adapun arti peranan (role)
menurut Linton adalah the dynamic aspect
of a status (Sunarto, 2004:55). Menurutnya, seseorang menjalankan
peranan manakala ia menjalankan hak dan
kewajiban sesuai dengan kedudukan yang dimilikinya. Peranan seorang dokter,
misalnya, mengacu pada bagaimana seseorang yang berstatus dokter menjalankan
hak dan kewajibannya; antara lain bagaimana ia mengobati orang sakit, memberikan informasi tentang kesehatan seseorang, dan sebagainya. Dapat
dikatakan bahwa dalam konsep peranan itu terkandung harapan-harapan (expectations) tertentu, yaitu harapan
agar menjalankan kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan peranan yang
dipegangnya. Dalam hal ini terdapat dua macam harapan, yaitu:
1.
Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang
peranan atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, dan
2.
Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran
terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dalam
menjalankan peranan atau kewajiban-kewajibannya.
Dapatlah dikatakan bahwa peranan adalah bagian dari tingkah laku
seseorang dalam masyarakat, sehingga peranan tidak bebas dari nilai-nilai dan
norma-norma. Tegasnya peranan adalah norma-norma yang dihubungkan dengan posisi
atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat
D. Lapisan-lapisan Masyarakat Resmi dan Tak
Resmi
Dimensi lain dari stratifikasi sosial adalah kelas sosial (social
class). Peter Berger mendefinisikan kelas sosial sebagai “a type of stratification in which one’s
general position in society is basically determined by economic criteria”
(Sunarto, 2004:95). Dari perumusan ini nampak bahwa konsep kelas dikaitkan
dengan posisi seseorang dalam masyarakat berdasarkan kriteria ekonomi.
Sedangkan Jeffries memandang bahwa konsep kelas sosial melibatkan perpaduan
antara ikatan ekonomi, pekerjaan, dan pendidikan (namun Jeffries beranggapan
bahwa ekonomi merupakan segi yang paling penting). Meskipun konsep kelas ini mencakup tiga
dimensi yang berbeda satu dengan yang lain, namun Jeffries mengakumulasikan ketiganya
dengan alasan bahwa di antara ketiga dimensi tersebut terdapat keterkaitan yang
erat. Dikemukakannya bahwa pendidikan sering menjadi prasyarat bagi pekerjaan
tertentu (Sunarto, 2004:96). Artinya untuk menduduki pekerjaan atau jabatan
tertentu sudah tentu membutuhkan pendidikan yang sesuai, walaupun pendidikan
yang tinggi tidak menjamin seseorang berpenghasilan tinggi; sebaliknya orang
berpenghasilan tinggi belum tentu berpendidikan tinggi. Sebagai contoh: seorang
guru besar bergelar Doktor cenderung berpenghasilan rendah hingga menengah, sedangkan
seseorang yang sangat kaya belum tentu berpendidikan sarjana muda. Namun
kenyataan yang umum ditemukan dalam masyarakat kita dewasa ini adalah segi
ekonomi memiliki peran penting dalam
menentukan -- tinggi-rendah -- kelas sosial seseorang. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut: kemampuan ekonomi yang tinggi menyebabkan pendidikan yang
tinggi pula karena untuk memperoleh pendidikan tinggi tentu memerlukan biaya
yang tidak sedikit, dengan pendidikan yang tinggi peluang untuk mendapatkan
pekerjaan yang prestisius juga besar.
Sebaliknya, pendidikan yang tinggi memungkin seseorang menduduki pekerjaan yang
prestisius dengan penghasilan yang tinggi pula. Uraian di atas menjelaskan
bahwa pada umumnya konsep kelas selalu dikaitkan dengan posisi seseorang dalam
masyarakat berdasarkan kriteria ekonomi. Kelas sosial tidak hanya menyangkut
orang tertentu yang terlibat langsung dengan status yang disandangnya, tetapi
juga mencakup seluruh anggota keluarga. Seorang kepala keluarga yang menduduki
jabatan prestisius di masyarakat, misalnya, maka status istri dan anak-anaknya
akan tinggi pula.
Sementara Berger dan Jefrries mengacu pada faktor ekonomi dalam
menetapkan konsep kelas sosial, maka Koentjaraningrat (1985:176) menterjemahkan
istilah social class dengan lapisan-lapisan
sosial tak resmi, yaitu suatu masyarakat yang para warganya tidak memiliki kesadaran dan konsepsi yang
jelas tentang sistem pelapisan dan kelas-kelas dalam masyarakat. Menurutnya,
dalam masyarakat-masyarakat seperti ini tidak ditemukan istilah-istilah
tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan dalam masyarakat, kecuali dengan
sebutan-sebutan yang kabur seperti kaum terpelajar, pejabat tinggi, golongan
menengah, dan sebagainya; dan di balik tiap sebutan serupa itu warga masyarakat
mengasosiasikannya sebagai kedudukan tinggi dan rendah. Warga dari masyarakat
dengan sistem pelapisan masyarakat tak resmi biasanya mengembangkan dan
mewujudkan suatu cara dan gaya hidup (style of life) tertentu yang sering
tampak berbeda dengan cara hidup lapisan-lapisan masyarakat yang lain, seperti
dalam gaya
berpakaian, wilayah-wilayah perkotaan tempat mereka tinggal, toko-toko biasa
belanja, dan sebagainya. Lebih lanjut, menurut Koenjaraningrat (1985:175),
sebagian besar masyarakat di dunia ini apabila dianalisis secara obyektif akan
menunjukkan adanya lapisan-lapisan sosial tak resmi.
Selain masyarakat-masyarakat dengan lapisan masyarakat tak resmi, ada
juga masyarakat-masyarakat di dunia yang sistem pelapisan dan kelas-kelas
sosialnya sudah menjadi tegas, karena orang-orang dari suatu lapisan atau kelas
tersebut memperoleh sejumlah hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum adat
atau hukum positif masyarakat bersangkutan. Warga dari masyarakat-masyarakat
serupa ini biasanya memiliki suatu kesadaran dan konsepsi yang jelas tentang
seluruh susunan pelapisan dalam masyarakat mereka. Bahkan mereka seringkali
mempunyai istilah-istilah tertentu untuk menyebut berbagai lapisan dalam
masyarakatnya (Koentjaraningrat, 1985:176). Sistem kasta yang diberlakukan
masyarakat Hindu-Bali dapat kita golongkan ke dalam bentuk lapisan masyarakat
ini. Menurut kitab suci orang Bali , masyarakat
terbagi dalam empat lapisan, yaitu Brahmana, Satria, Vesia, dan Sudra. Ketiga
lapisan pertama disebut Triwangsa, sedangkan lapisan terakhir disebut Jaba yang
merupakan lapisan dengan jumlah warga terbanyak.[1]
Termasuk ke dalam kasta mana seseorang berada, dapat diketahui dari gelar yang
mereka miliki, seperti Ida Bagus bagi kaum Brahmana; Tjokorda, Dewa, Ngakan,
dan Bagus untuk golongan Satria; I Gusti dan Gusti gelar bagi orang Vesia;
sedangkan Pande, Pasek, Pulasari, Parteka, dan sebagainya adalah gelar bagi
orang Sudra. Gelar-gelar tersebut diwariskan secara patrilineal
(Koentjaraningrat 1985:190).
Walaupun gelar-gelar tersebut tidak memisahkan golongan-golongan secara
ketat, akan tetapi sangat penting dalam sopan santun pergaulan. Orang dengan
gelar lebih tinggi harus diperlakukan dengan sikap hormat yang tampak dalam
bahasa dan gerak; sedangkan orang dengan gelar lebih rendah dapat diperlakukan dengan
sikap yang bebas. Selain itu, aturan-aturan adat yang luas menetapkan hak-hak
bagi si pemakai gelar untuk mempergunakan tanda, perhiasan dan ornamen
tertentu, unsur-unsur pakaian tertentu, bentuk-bentuk tertentu pada rumah, dan
sebagainya. Kehidupan sistem kasta di Bali
tersebut umumnya tampak jelas dalam hubungan perkawinan. Seorang gadis suatu
kasta tertentu, umumnya dilarang bersuamikan seseorang dari kasta yang lebih
rendah (Koentjaraningrat, 2012:191). Dari uraian di atas secara jelas
Koentjaraningrat menempatkan kelas sosial resmi dalam kategori stratifikasi
sosial tertutup. Apabila demikian, maka kelas sosial tidak resmi sebagaimana
digambarkannya merupakan bentuk
masyarakat stratifikasi terbuka.
E. Jumlah Lapisan Sosial dalam Masyarakat
Di kalangan para ahli sosiologi kita menjumpai keanekaragaman dalam
penentuan jumlah lapisan sosial. Ada
yang membagi klasifikasi sosial menjadi dua lapisan saja. Karl Marx, misalnya, membedakan antara kelas
borjuis dan proletar; Mosca membedakan antara kelas yang berkuasa dan kelas
yang dikuasai; banyak ahli sosiologi membedakan antara kaum elit dan massa , antara orang kaya
dan orang miskin. Sedangkan sejumlah ilmuwan sosial mengklasifikasikan
masyarakat menjadi tiga lapisan atau lebih: kelas atas (upper class), menengah (middle
class), dan kelas bawah (lower class).
Warner bahkan merinci tiga kelas ini menjadi enam kelas: kelas atas atas (upper-upper), atas bawah (lower upper), menengah atas (upper midle), menengah bawah (lower middle), bawah atas (upper lower), dan bawah-bawah (lower lower) (Sunarto, 2004:90).
Bernard Barber memperkenalkan
konsep rentang (span) untuk
mempertajam konsep stratifikasi, seperti
rentang dalam penghasilan, rentang dalam kepangkatan pegawai negeri, rentang
kekayaan, dan sebagainya. Konsep lain yang dikemukakan Barber adalah konsep
bentuk (shape) yang mengacu pada
proporsi orang yang terletak di kelas sosial yang berlainan. Suatu stratifikasi
sosial dapat berbentuk segi tiga, yang berarti bahwa semakin tinggi posisi
dalam stratifikasi, semakin sedikit posisi yang tersedia. Stratifikasi yang
mendekati bentuk piramida ini, misalnya, dalam stratifikasi jabatan pimpinan
dalam pemerintahan daerah: jumlah kepala desa atau lurah melebihi camat, jumlah
camat melebihi jumlah bupati atau walikota, dan jumlah bupati atau walikota
melebihi jumlah gubernur (Sunarto, 2004:90)
F. Stratifikasi Sosial dalam
Masyarakat Indonesia .
Dalam membahas masalah stratifikasi sosial, hal yang perlu diperhatikan
adalah terdapat perbedaan antara stratifikasi di setiap komunitas: stratifikasi
pada masyarakat pedesaan akan berbeda dengan stratifikasi pada masyarakat
perkotaan. Bahkan antara desa satu dengan desa yang lain ada kecenderungan
memiliki stratifikasi sosial yang berbeda. Faktor penyebabnya antara lain karena
perbedaan struktur sosial pada masing-masing komunitas. Stratifikasi sosial di
perkotaan tentunya jauh lebih kompleks
daripada di pedesaan mengingat beragamnya institusi sosial yang ditemukan pada
masyarakat tersebut. Namun pada umumnya kriteria untuk menentukan dalam lapisan
mana seseorang berada dilihat dari kekayaan yang dimiliki ataupun bidang dan
jenjang pekerjaan seseorang.
1. Stratifikasi Sosial di Masyarakat Pedesaan
Pudjiwati Sayogyo (1985:76)
mengklasifikasikan masyarakat di pedesaan Indonesia pada tahun 1976 atas
dasar hak milik (perorangan) atas tanah, pelaku pertanian (petani, buruh tani,
dan lain-lain) dan menggolongkannya atas tiga lapisan sebagai berikut:
a.
Lapisan atas terdiri dari para pemilik lahan lebih dari
0,5 hektar (meliputi 6,1 juta rumah
tangga atau 28% rumah tangga).
b.
Lapisan menengah terdiri dari para petani gurem
(sempit) yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar (meliputi 5,5 juta rumah
tangga atau 25% rumah tangga), dan
c. Lapisan bawah ditempati para buruh tani dan
petani yang tidak memiliki tanah (the
landless farmers) (meliputi 3,8 juta rumah tangga atau 17% rumah tangga).
Sementara Sayogyo menggunakan pola stratifikasi sosial berdasarkan ukuran
luas pemilikan lahan, maka W.M.F. Hofsteede
(1992:45-46) dari hasil penelitiannya di empat desa di Jawa Barat dalam
tahun 1970 menemukan penyederhanaan stratifikasi sosial di pedesaan menjadi
elit - massa
sebagai berikut:
1. Elit desa, yang terdiri dari lurah,
pegawai-pegawai daerah dan pusat, pemimpin formal dan pemuka masyarakat, guru,
tokoh-tokoh politik maupun agama, dan petani kaya.
2. Massa , yang terdiri dari
petani menengah, buruh tani, pedagang kecil, serta pengrajin
Pembentukan strata berdasarkan kriteria
hak milik atas sawah, kebun, dan rumah makin lama makin kabur. Situasi
demikian menjelaskan adanya tendensi perkembangan stratifikasi menurut ukuran
modern. Hal ini sekaligus menjelaskan betapa dinamisnya proses stratifikasi di
desa dewasa ini.
Pada masyarakat Jawa dikenal istilah-istilah golongan ningrat (priyayi) dan
golongan rakyat kecil atau wong cilik untuk menggambarkan stratifikasi sosial
masyarakatnya. Golongan priyayi terdiri keturunan bangsawan, kaum terpelajar,
dan pegawai negeri; sedangkan golongan wong cilik terdiri dari buruh/tukang,
petani, dan para pekerja kasar lainnya.
2.
Stratifikasi Sosial di Masyarakat Perkotaan
Apabila kita mengikuti pola pengelompokan besar masyarakat kota menurut
Hans Dieter Evers, yaitu ”kelompok inti” di satu kutub dan “massa apung” di
kutub yang berlawanan, dengan mengacu pada pola stratifikasi sosial dua bentuk:
elit –massa; kaya – miskin, maka
“kelompok inti” dapat dikategorikan sebagai kelompok elit (kaya) perkotaan;
sedangkan “massa apung” masuk ke dalam
kelompok massa (miskin) perkotaan. Kelompok terakhir dari segi kuantitas
menduduki jumlah paling besar dalam
masyarakat perkotaan. Namun klasifikasi ini
masih terlalu sederhana mengingat struktur masyarakat kota yang kompleks. Pada kenyataannya, dalam
“kelompok inti” sendiri ditemukan sejumlah besar kalangan yang walaupun
memiliki pekerjaan tetap, tetapi hidup dalam kemiskinan, kalangan pegawai
negeri golongan rendah, misalnya.
Dalam konteks ini Sunarto (2004:101) menggambarkan kondisi masyarakat
kita saat ini yang sedang berada dalam proses industrialisasi di mana di
perkotaan berkembang suatu kelas menengah yang dalam banyak hal memperlihatkan
gaya hidup yang berbeda dengan golongan masyarakat lainnya, misalnya dari cara
berpakaian, memilih letak tempat tinggal, memilih tempat perbelanjaan, sarana
maupun prasarana yang digunakan, termasuk pengobatan. Realita sosial yang
tengah menggejala adalah munculnya
eksekutif dan profesional muda yang menggambarkan kehidupan kelas menengah
sebagaimana di atas.
Dengan struktur masyarakat kota
yang demikian, maka praktis pola stratifikasi masyarakatnya bertambah kompleks
pula. Pola stratifikasi tiga kelas menjadi enam kelas sebagai mana dikemukakan
Warner mungkin dianggap sesuai dalam
mengkategorisasikan masyarakat perkotaan dewasa ini.
Daftar Pustaka
Hofsteede,
W.M.F.
1992 Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa
Jawa Barat. Yogyakarta . Gajah Mada Press.
Johnson,
Doyle Paul
1986 Teori Sosiologi: Klasik dan Modern. Jilid 1 (Alih Bahasa Robert M.
Lawang). Jakarta ,
PT. Gramedia.
Koenjaraningrat
2012 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta , Aksara Baru.
Ritzer, George dan
Goodman J. Douglas
2005 Teori Sosiologi Modern (alih bahasa Alimandan). Jakarta , Prenada.
Sayogyo, Pudjiwati
1985 Sosiologi Pembangunan. Jakarta . Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta .
Soekanto, Soerjono
1999 Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta , PT. RajaGrafindo
Persada.
Sunarto,
Kamanto
2004 Pengantar Sosiologi. Jakarta , FE UI.
Taneko,
Soleman b.
1990 Struktur dan Proses Sosial. Jakarta , CV. Rajawali.
0 comments