KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL



KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL



A. Konsep Kelompok Sosial
Di dalam kehidupannya, manusia tidak dapat hidup seorang diri, dia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak dapat dipenuhinya sendiri. Hal ini menimbulkan kelompok-kelompok sosial (social group). Robert K. Merton mendefinisikan kelompok menurut standar sosiologi sebagai: a number of people who interact with one another in accord with astablished pattern (sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang sudah mapan).[1] Sedangkan Soerjono Soekanto mendefinisikan kelopok sosial sebagai: himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan tersebut menyangkut kaitan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong.[2]
Definisi kelompok sosial yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto di atas memberikan pemahaman  bahwa apa yang disebut kelompok sosial bukan sekedar penjumlahan dari individu-individu atau sekedar himpunan individu, namun ada persyaratan yang harus dipenuhi agar himpunan individu tersebut dapat disebut kelompok sosial. Terkait dengan hal itu, Soerjono Soekanto selanjutnya mengemukakan persyaratan  yang dimaksud sebagai berikut:[3]
  1. Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa ia merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan.
  2. Ada hubungan timbal balik antara anggota satu dengan anggota yang lainnya dalam kelompok tersebut.
  3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok itu, sehingga hubungan di antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama, dan sebagainya. Tentunya faktor mempunyai musuh bersama, misalnya, dapat menjadi faktor pemersatu.
  4. Berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku.
  5. Bersistem dan berproses.

B. Bentuk-bentuk Kelompok Sosial
Kelompok sosial sebagai perwujudan dari kehidupan bersama manusia sangat beraneka ragam dan mempunyai jumlah yang tidak sedikit.. Di antaranya yang penting adalah keluarga, organisasi di berbagai segmen kehidupan, seperti ekonomi, politik, keagamaan, kesenian, dan sebagainya, dan juga apa yang disebut masyarakat setempat (community) seperti ketetanggaan, desa, kota, dan seterusnya.
Dalam masyarakat yang masih sangat sederhana, jumlah kelompok sosial yang terdapat di dalamnya pada umumnya masih sangat terbatas sesuai struktur dari masyarakat bersangkutan. Kelompok sosial dimaksud biasanya didasarkan unsur kekerabatan, usia, seks, dan kadang-kadang atas dasar pekerjaan ataupun kedudukan. Keanggotaan masing-masing kelompok sosial tadi, memberikan kedudukan atau prestise tertentu sesuai dengan adat-istiadat dan institusi sosial yang ada dalam masyarakat bersangkutan. Namun hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa keanggotaan pada kelompok sosial (termasuk, pada masyarakat-masyarakat yang masih sederhana) tidak selalu bersifat suka rela.

1. In-Group dan Out-Group
Pembedaan istilah in-group dan out-group dapat disejajarkan dengan istilah “kami” dan “mereka” dalam bahasa Indonesia. Kami mahasiswa Universitas A sedangkan mereka mahasiswa Universitas B. Pernyatan ini memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud in-group adalah kelompok-kelompok sosial di mana individu mengidentifikasikan dirinya. Lawan dari in-group adalah out-group.
Istilah yang berlawanan ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa sikap masing-masing anggota kelompok diwarnai dengan antagonis atau antipati. Pada umumnya anggota suatu kelompok memberikan suatu dasar penilaian bahwa hanya kelompoknyalah yang terbaik Dengan demikian parameter untuk menilai kelompok lain adalah kelompoknya sendiri, baik dalam hal kebiasaan, kualitas anggota, bentuk kelompok, dan sebagainya. Sikap seperti ini disebut dengan istilah etnosentris, yang baik sadar maupun tidak, disosialisasikan secara regenerasi. Di dalam sosialisasi tersebut seringkali digunakan streotipe, yaitu gambaran ataupun anggapan-anggapan yang bersifat merendahkan terhadap suatu obyek tertentu, yang dalam hal ini anggota-anggota kelompok di luar kelompoknya sendiri.

2. Primary Group
   Konsep primary group diperkenalkan oleh sosiolog bernama  Charles Horton Cooley. Primary group didefinisikannya sebagai kelompok yang ditandai oleh pergaulan dan kerjasama tatap muka yang intim. Ruang lingkup terpenting dari kelompok primer ini adalah keluarga, teman sepermainan pada anak kecil (peer-group), dan rukun warga, serta komunitas pada orang dewasa.
Kelompok primer menurut beberapa ahli merupakan agen sosialisasi yang penting. Sosialisasi (sosialization) adalah proses di mana seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya mempelajari pola-pola tindakan (patern action) dalam berinteraksi dengan berbagai individu lain di sekelilingnya yang menduduki beraneka ragam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Tegasnya, dalam proses ini individu mulai berinteraksi dengan individu-individu lain, yang mengakibatkan terbentuknya perilaku individu yang sesuai (conform) dengan individu-individu lain dalam kelompoknya.
Sejumlah ahli sosiologi  mengemukakan istilah secondary group (suatu konsep yang tidak kita jumpai dalam karya Cooley) sebagai kebalikan dari primary group. Kelompok sekunder adalah kelompok-kelompok besar yang terdiri dari banyak orang, hubungannya tidak perlu berdasarkan kenal mengenal, dan sifatnya tidak begitu langgeng.

3.      Membership Group dan Reference Group
Membership group merupakan kelompok di mana setiap orang secara fisik (riil) menjadi anggota kelompok tersebut. Bergabungnya individu ke dalam suatu kelompok sosial membawa konsekuensi individu yang bersangkutan dituntut untuk mentaati segala norma yang berlaku dalam kelompoknya, sehingga pada akhirnya segala perikelakuan individu tersebut mencerminkan norma-norma kelompoknya.
Namun kenyataan yang kerap terjadi dalam kehidupan nyata, keanggotaan dalam suatu kelompok tidak berarti bahwa seseorang akan menjadikan kelompoknya menjadi acuan (reference) bagi caranya bersikap, bertindak, atau berperilaku. Dalam bersikap dan berperilaku seseorang dapat menunjukkan konformitas pada kelompok luar (out-group). Seorang anggota PPNI, misalnya, bisa saja mengidentifikasikan dirinya dengan norma-norma kelompok profesi lain, IDI misalnya, sehingga dalam kesehariannya dia bertingkah laku selayaknya seorang dokter. Atau seorang anggota Nahdlatul Ulama bisa saja berteladan pada seorang tokoh agama Islam di Indonersia dari organisasi Islam lain.

4.  Paguyuban (Gemeinschaft) dan Patembayan (Gesellschaft)
Pembedaan antara dua jenis kelompok ini dikemukakan oleh Ferdinand Tonnies. Menurutnya, hubungan-hubungan positif antara manusia selalu bersifat gemeinschaflich dan gesellschaflich. Paguyuban (gemeinschaft) digambarkan Tonnies sebagai kehidupan bersama yang intim (intimate), pribadi (private), dan ekslusif (exlusive), suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir dan dibagi ke dalam tiga jenis: (1) paguyuban yang didasarkan pada ikatan darah (gemeinschaft by blood); (2) paguyuban yang berdasarkan pada kedekatan tempat tinggal (gemeinschaft of place); dan (3) paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tidak mempunyai hubungan darah, tetapi mereka mempunyai jiwa dan pikiran yang sama, karena ideologi yang sama, contoh: bangsa (gemeinschaft of mind).
Patembayan (gesellschaft) merupakan bentuk-bentuk hubungan yang didasarkan pada spesialisasi, bersifat rasional, direncanakan, dan biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang pendek. Seseorang menjadi anggota petembayan karena dia mempunyai kepentingan-kepentingan yang bersifat rasional. Dalam bentuk hubungan seperti ini kepentingan-kepentingan individual berada di atas kepentingan kelompok. Bentuk patembayan terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal balik, seperti ikatan bisnis di antara pengusaha, organisasi dalam sebuah pabrik atau industri, dan sebagainya.
Dikotomi antara gemeinschaft dan gesellschaft menurut Soerjono Soekanto[4] sangat mirip dengan istilah solidaritas mekanis dan solidaritas organis yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang menandai masyarakat yang masih sederhana atau masyarakat pedesaan. Pada masyarakat-masyarakat seperti ini diferensiasi pekerjaan berdasarkan keahlian pada umumnya kurang menonjol, sehingga fungsi sosial dari anggota-anggotanya secara individual kurang begitu penting. Dalam hal ini apabila ada seorang anggota yang pindah atau keluar dari kelompok, maka perannya dapat digantikan oleh anggota yang lain tanpa menyebabkan kegoncangan dalam tubuh kelompok tersebut. Seorang anak, misalnya, dengan cepat dapat melakukan apa yang dilakukan ayahnya seperti berburu, berladang, atau bertani. Dalam masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan adalah persaman perilaku dan sikap. Perbedaan tidak perilaku dibenarkan. Menurut Durkheim seluruh warga masyarakat  diikat oleh apa yang dinamakan kesadaran kolektif, hati nurani kolektif (collective conscience) – suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan bersifat represif, dan bersifat ekstern serta memaksa. Sanksi terhadap pelanggar norma bersifat represif; barangsiapa yang melanggar solidaritas sosial akan terkena sanksi warga yang sangat berat. Kesadaran bersama tersebut mempersatukan para warga masyarakat, dan hukuman terhadap pelanggar bertujuan agar ketidakkeseimbangan (disequilibrium) yang diakibatkan oleh penyimpangan tersebut dapat dipulihkan kembali. Keadaan atau struktur seperti ini disebut struktur yang mekanis. Dengan demikian sifat-sifat pokok dari masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanis dapat dikemukakan sebagai berikut: spesialisasi kerja rendah, kesadaran kolektif kuat, individualitas rendah, konsensus terhadap pola-pola normatif penting, ada keterlibatan dalam menghukum anggota-anggotanya yang menyimpang. Ciri-ciri seperti ini menurut Soerjono Soekanto sangat mirip dengan masyarakat paguyuban (gemeinschaft).
Solidaritas organis merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat komplek – seperti masyarakat perkotaan – di mana dalam masyarakat tersebut telah mengenal pembagian kerja yang rinci dan dipersatukan oleh salingketergantungan (interdependence) antarbagian. Setiap anggota kelompok memerankan peran yang berbeda, dan di antara berbagai peran yang ada terdapat salingketergantungan selayaknya kesalingtergantungan antarbagian suatu organisme biologis. Apabila salah satu bagian mengalami kerusakan, maka organisme tersebut secara keseluruhan tidak berfungsi secara normal. Demikian halnya dengan masyarakat. Tidak berperannya kepolisian misalnya, akan berakibat terhadap masalah keamanan, masyarakat rentan terhadap kriminalitas dan bentuk kejahatan lainnya.
Pada masyarakat dengan solidaritas organis ini, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat bukan lagi kesadaran kolektif, melainkan kesepakatan yang terjalin di antara kelompok profesi. Secara umum sifat-sifat pokok dari masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organis dapat dikemukakan sebagai berikut: spesialisasi kerja tinggi, konsensus terhadap nilai-nilai umum tinggi,  kontrol sosial dilakukan oleh badan-badan hukum yang formal, salingketergantungan antar anggota tinggi, dan sebagainya


5.      Asosiasi (Association)
Semakin kompleks/heterogen suatu masyarakat, maka pembagian kerja dalam masyarakat tersebut semakin meningkat. Seiring itu maka asosiasi menjadi suatu bentuk kelompok yang semakin penting dalam masyarakat. Terminologi asosiasi sinonim dengan organisasi formal atau sebut saja organisasi. Asosiasi atau organisasi merupakan badan organisatoris yang khusus diadakan oleh manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian maka badan organisatoris ini akan ditemukan dalam semua lapangan kehidupan manusia. Misalnya dalam usaha manusia untuk mencapai tingkat hidup yang lebih baik (dalam memenuhi kebutuhan ekonomi), orang akan membentuk asosiasi seperti firma, perseroan terbatas, dan sebagainya. Di dalam usaha untuk meneruskan warisan dari generasi yang lampau (kebutuhan akan pengetahuan) orang mendirikan asosiasi seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan sebagainya. Untuk maksud mengatur kehidupan bernegara (memenuhi kebutuhan hidup berkelompok) orang mengadakan badan pemerintahan, partai politik, dan sebagainya. Kesemuanya ini oleh para ahli sosiologi disebut dengan asosiasi (association). Berdasarkan uraian di atas, maka asosiasi cenderung merupakan kelompok yang formal sifatnya (formal group), oleh karena tekanannya adalah pada kelompok yang mempunyai sasaran yang tegas/jelas dan susunan yang resmi, seperti  terdapat pembagian pekerjaan (devision of labour), pendelegasian wewenang (delegation of authority), koordinasi (coordination).
Asosiasi atau organisasi memiliki struktur formal yang menunjuk pada struktur birokrasi (bureaucracy), suatu istilah untuk menunjuk pola hubungan bertingkat dari suatu struktur. Birokrasi merupakan sistem jabatan modern, suatu bentuk hubungan kekuasaan yang bersifat rasional-legal yang dijumpai baik di bidang pemerintahan maupun di bidang swasta. Arti birokrasi sendiri adalah pengaturan atau pemerintahan oleh pejabat. Organisasi birokrasi mengandung sejumlah prinsip, antara lain: (1) urusan kedinasan dilaksanakan secara berkesinambungan; (2) urusan kedinasan didasarkan pada aturan dalam suatu badan administratif; (3) tanggung jawab dan wewenang tiap pejabat merupakan bagian suatu hirarkhi wewenang; (4) pejabat dan pegawai administratif memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas; (5) para pemangku jabatan tidak dapat memperjualbelikan jabatan selayaknya milik pribadi; dan (6) urusan kedinasan dilaksanakan dengan menggunakan dokumen tertulis. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa prinsip-prinsip di atas hanya dijumpai pada birokrasi tipe ideal, yang tidak akan kita jumpai dalam masyarakat nyata.

6.  Kelompok Okupasional
Kelompok okupasional diartikan sebagai kelompok yang terdiri dari orang-orang yang melakukan pekerjaan sejenis.[5] Kelompok-kelompok seperti ini muncul akibat berkembangnya spesialisasi bidang pekerjaan dalam masyarakat yang heterogen. Anggota kelompok serupa ini pada umumnya telah menjalani pendidikan pada lembaga-lembaga tertentu sehingga menjadi orang yang terampil dan menguasai suatu disiplin keilmuan tertentu. Melalui keahliannya tersebut mereka membantu masyarakat untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu. Dengan demikian kelompok okupasional dalam masyarakat modern merupakan kelompok profesi yang seolah-olah mempunyai monopoli terhadap bidang dan teknologi tertentu. Kelompok profesi ini mengembangkan standar-standar perilaku sendiri, yang lazim disebut etika profesi.
Dengan semakin heterogennya masyarakat menyebabkan tidak semua kepentingan – baik kepentingan yang bersifat material maupun spiritual -- individual warga masyarakat dapat dipenuhi secara mantap. Kondisi ini menyebabkan munculnya kelompok-kelompok volunter. Kelompok volunter mencakup orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama, namun tidak mendapat perhatian masyarakat luas. Ada kelompok volunter yang bergerak dalam usaha memenuhi kebutuhan primer anggota-anggotanya, ada pula kelompok volunter untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat sekunder, bahkan ada kelompok volunter dibentuk oleh anggotanya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat  tersier.

7.  Komunitas (Community)
Istilah komunitas menunjuk pada warga sebuah desa, sebuah kota, suku bangsa, atau suatu bangsa. Komunitas dapat diartikan sebagai orang-orang yang tinggal bersama dalam suatu wilayah – dalam pengertian geografis – dengan batas-batas tertentu, di mana para warga masyarakatnya diikat oleh perasaan bangga dan cinta kepada wilayah tadi, dan mereka memiliki unsur-unsur sentiment komunitas (community sentiment), yaitu suatu perasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan antara satu sama lain.[6]
Komunitas memiliki bentuk yang cukup banyak, namun pada dasarnya dapat dibagi ke dalam komunitas besar dan komunitas kecil. Ukuran besar kecilnya komunitas dapat ditentukan atas dasar kuantitas anggotanya. Suatu komunitas besar seperti kota, provinsi, atau negara, praktis memiliki jumlah anggota yang besar dengan wilayah yang cukup luas. Sedangkan komunitas kecil seperti desa, kampung, rukun warga, rukun tetangga, dan sebagainya, jumlah penduduk maupun luas wilayah relatif kecil. Namun ukuran pasti mengenai seberapa besar jumlah anggota dan luas wilayah tidak dapat ditentukan.

a.  Masyarakat Sederhana
Masyarakat sederhana dapat dideskripsikan sebagai masyarakat yang mengalami kelambatan dalam perkembangan pengetahuan dan teknologi, bentuk organisasi sosial masih sangat sederhana, dan jumlah penduduknya relatif kecil dan tersebar.[7] Anggota masyarakatnya bermatapencaharian dari berburu, meramu, menangkap ikan, mengerjakan sawah dengan teknik yang masih sangat sederhana, dan sebagainya. Karena kehidupan mereka bergantung dari hewan-hewan dan kesuburan tanah, maka tempat tinggal mereka berpindah-pindah. Walaupun mereka pada umumnya terdiri dari suku bangsa pengembara (nomad) akan tetapi pada waktu-waktu tertentu anggota-anggotanya biasanya berkumpul di suatu tempat, misalnya pada waktu mengadakan upacara adat.
Dalam masyarakat sederhana, kesetiaan dan pengabdian anggota terhadap kelompoknya sangat kuat, bahkan mereka masih ada ikatan keluarga, sehingga seringkali ditemukan larangan untuk kawin dengan anggota kelompok yang sama (perkawinan eksogami). Beberapa bentuk masyarakat sederhana yang ditemukan di Indonesia antara lain: suku bangsa Sakai dan Kubu di daerah pedalaman Sumatera Timur yang hidup dari berburu dan meramu, beberapa suku bangsa Daya di daerah pedalaman Kalimantan yang hidup dari sistem pertanian ladang berpindah, dan beberapa suku bangsa peramu di pedalaman Papua Barat.

b. Masyarakat Perdesaan (Rural Community) dan Masyarakat Perkotaan
    (Urban Community)

Baik masyarakat perdesaan maupun masyarakat perkotaan dapat dikelompokkan ke dalam bentuk masyarakat modern. Masyarakat perdesaan tidak dapat disamakan dengan masyarakat sederhana karena betapapun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Sebaliknya pada masyarakat-masyarakat sederhana, pengaruh kota relatif tidak ditemukan.

1. Masyarakat Pedesaan (Rural Community)
Masyarakat perdesaan pada umumnya berlokasi di daerah pedalaman dan mempunyai keterikatan yang relatif kuat terhadap kehidupan tradisional. Struktur kemasyarakatan, fungsi, adat-istiadat, maupun corak kehidupan masyarakat pedesaan sangat dipengaruhi oleh proses penyesuaian ekologi masyarakatnya. Oleh karena itu daerah pedesaan hampir di semua tempat tidak sama. Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai yang berekosistem laut dan sebagaian penduduknya bergantung kepada potensi laut dikenal sebagai desa nelayan atau desa pantai. Sedangkan masyarakat yang hidup dalam ekosistem darat dan mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani disebut desa pertanian atau desa agraris. Pada masyarakat desa pertanian sendiri terdapat perbedaan dalam teknik penggunaan dan pengolahan tanahnya. Hal ini disebabkan faktor iklim dan sifat tanah yang tidak sama antara daerah satu dengan lainnya. Beberapa daerah mungkin lebih mementingkan pertanian di atas sawah-sawah dan tegalan-tegalan; sedangkan di daerah lain masih terdapat pertanian ladang di mana kepentingan peternakan masih diutamakan.
Cara-cara bertani masyarakat desa pertanian di Indonesia pada umumnya masih sangat tradisional dan tidak efisien karena masih belum dikenalnya makanisasi dalam pertanian. Biasanya mereka bertani semata-mata untuk menutupi kebutuhan hidup mereka sendiri dan tidak untuk dijual. Cara bertani semacam ini dinamakan subsistence farming.[8] Mereka puas apabila kebutuhan keluarga telah dicukupinya. Tegasnya, masyarakat pertanian subsisten diartikan sebagai keluarga-keluarga petani yang melakukan aktivitas bertani hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, dan bukan untuk tujuan komersial berupa uang. Untuk mendapatkan barang-barang kebutuhan rumah tangga di luar hasil pertanian, mereka melakukannya dengan cara menukarkan (barter) hasil bumi mereka dengan barang-barang kebutuhan rumah tangga yang mereka butuhkan. Barter ini biasanya dilakukan dengan para pedagang keliling yang berasal  dari luar desa mereka. Aktivitas ekonomi seperti ini pada umumnya dilakukan oleh desa-desa yang wilayahnya terpencil, yang belum terjangkau sistem ekonomi pasar, di mana aktivita perekonomian belum tergantung sepenuhnya kepada uang.
Sistem ekonomi jasa (ekonomi tertier) mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola hubungan antar warga masyarakat di pedesaan. Sistem ekonomi jasa membawa serta salingketergantungan antara pihak pemberi dan penerima jasa. Seseorang perlu memberikan jasa kepada orang lain, agar di kemudian hari mendapatkan jasa itu kembali (dari pihak penerima). Jika teori-teori lama mengatakan bahwa hubungan dalam masyarakat pedesaan sifatnya tanpa pamrih, sebenarnya kurang tepat. Dalam hal ini harus dibedakan antara pertukaran jasa sebagai tindakan dalam rangka aktivitas ekonomi, dan di lain pihak, pemberian jasa sebagai tindakan sosial.[9]
Dalam prakteknya, penduduk sendiri membedakan antara gotong royong sebagai suatu tradisi dan gotong royong sebagai suatu “bisnis.”[10] Hal yang sama dinyatakan oleh koentjaraningrat bahwa seseorang memberi sumbangan pada pesta perkawinan maupun khitanan, membantu memperbaiki rumah tetangga atau tolong menolong dalam aktivitas pertanian; tidak selalu dengan rasa rela dan spontan. Warga desa menyumbang dan membantu warga lainnya karena terpaksa dan terikat oleh suatu jasa yang pernah diberikan kepadanya, dan ia menyumbang untuk mendapatkan pertolongan lagi di kemudian hari. Bahkan dalam berbagai hal warga desa sering memperhitungkan dengan tajam setiap jasa yang pernah disumbangkannya, dengan harapan  keras bahwa jasa-jasanya itu akan dikembalikan dengan tepat pula, sehingga dapatlah dikatakan jasa merupakan “investasi” bagi masyarakat desa.
Namun demikian tidak berarti setiap gotong royong yang dilakukan masyarakat desa berorientasi pada sistem ekonomi jasa. Gotong royong tolong menolong pada waktu salah seorang warga tertimpa bencana seperti menderita sakit, kematian, dan kecelakaan masih terasa kental mewarnai kehidupan masyarakat. Gotong royong semacam ini tentu saja dilakukan secara ikhlas mengingat hubungan di antara mereka bersifat primer.

2. Masyarakat Perkotaan (Urban Community)
Wirth mendefinisikan kota sebagai pemukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya, akibatnya hubungan sosial menjadi longgar dan bersifat impersonal (tidak pribadi).[11] Dari definisi kota di atas tergambar bagaimana ciri-ciri masyarakatnya. Heterogenitas  pada masyarakat kota tidak hanya berkaitan dengan kedudukan sosial karena perbedaan tingkat ekonomi dan pekerjaan, tetapi juga berbagai perbedaan-perbedaan lainnya seperti latar belakang kebudayaan, agama, pendidikan, dan sebagainya. Hubungan individu yang bersifat impersonal karena masyarakat perkotaan lebih mementingkan manusia perorangan/individu dalam kehidupan  sosialnya. Interaksi antaranggota masyarakatnya didasarkan kepada kepentingan-kepentingan yang bersifat rasional, seperti ekonomi, politik, pekerjaan, dan sebagainya. Ciri lain dari kehidupan masyarakat perkotaan adalah adanya tendensi ke arah sekularisme akibat cara berpikir mereka yang rasional, yang didasarkan pada perhitungan eksak berkaitan dengan realita masyarakatnya. Dipandang dari sudut ketaatan anggota masyarakatnya terhadap norma-norma sosial, sangat rendah. Hal ini disebabkan mulai memudarnya kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya karena sikap hidup mereka yang individualis.
 Pesatnya pertumbuhan kota pada umumnya disebabkan oleh migrasi dan industrialisasi. Hal ini melahirkan masyarakat kota yang semakin kompleks dan heterogen seperti telah dikemukakan. Dari heterogenitas masyarakat kota tersebut tampaknya ada satu kelompok inti yang cukup stabil, yaitu para pemukim jangka panjang yang biasanya memiliki bidang pekerjaan atau usaha yang relatif stabil, kuat ekonominya, dan terjamin masa depannya. Mereka terdiri dari kalangan usahawan atau industriawan, para pegawai negeri yang pada umumnya bekerja di sektor perusahan besar yang formal atau di birokrasi dan industri pemerintah, pegawai perusahaan-perusahaan swasta, dan sebagainya. Kelompok inti yang relatif stabil ini dikelilingi oleh “massa apung” dari berbagai kelompok pekerjaan yang seringkali dikenal dengan sebutan “sektor informal.”[12] Ciri khas “massa apung” atau “sektor informal” adalah mobilitas  geografis dan okupasi yang tinggi. Mereka yang dapat digolongkan ke dalamnya adalah kaum pendatang musiman, para pekerja tidak tetap, mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (tuna wisma) dengan pendidikan yang rendah atau tidak memiliki pendidikan sama sekali, tetapi seringkali mempunyai keahlian atau keterampilan yang tinggi sebagai petani, nelayan, atau pengrajin). Secara rinci, kelompok “massa apung” ini diidentifikasi sebagai para pedagang kaki lima, asongan, gelandangan, pelacur, pembantu rumah tangga, buruh-buruh bangunan, dan sebagainya. Golongan masyarakat ini dikonstatir sebagai kelompok yang paling besar dan golongan termiskin di perkotaan.
Karakteristik yang dapat dideskripsikan pada golongan miskin perkotaan ini adalah produksi subsistensi yang hanya cukup dikonsumsi hari ini bagi keluarga yang bersangkutan. Karakteristik lainnya, mereka umumnya tinggal di daerah yang status bangunannya liar (status kepemilikan tanahnya tidak jelas), seperti di sepanjang rel kereta api, kolong-kolong jembatan, bantaran sungai, atau tinggal di pemukiman yang dihuni secara padat dan berjubel. Kualitas material bangunannya berkualitas rendah atau termasuk dalam kategori substandard,  yaitu banguanan rumah yang terbuat dari bambu, kayu, kardus, atau bahan lainnya yang mudah rusak. Daerah seperti ini disebut dengan istilah slumare atau slum dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah daerah/perkampungan kumuh. Daerah kumuh ditinjau dari aspek sosial seringkali dikaitkan dengan berbagai perilaku menyimpang dari para penghuninya seperti kriminalitas, pelacuran, kenakalan anak-anak dan remaja, perjudian, dan sebagainya.
Hubungan antara kota dengan daerah-daerah di sekitarnya mempunyai pengaruh yang aktif, terutama dalam aspek kehidupan sosial ekonomi. Berbagai fasilitas – seperti luasnya lapangan kerja, sarana pendidikan, sarana hiburan dan rekreasi, dan sebagainya – menjadi salah satu faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan daerah asalnya (push factor). Berkenaan dengan hal ini dikenal istilah urbanisasi, yaitu suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan. Urbanisasi kemungkinan dapat menyebabkan perluasan kota karena kota tidak akan mungkin menampung para urban yang begitu banyak. Timbullah tempat-tempat tinggal baru di wilayah pinggiran kota. Proses tersebut di dalam sosiologi dikenal dengan proses pembentukan suburb.
Pada umumnya penduduk desa yang melakukan proses perpindahan ke kota-kota besar terdiri dari golongan pemuda yang sebenarnya sangat diharapkan dapat membangun daerah asalnya. Dengan kepergian mereka, praktis desa kehilangan tenaga-tenaga muda potensial. Orang-orang desa yang telah menetap di wilayah perkotaan, tentunya sekali-kali akan kembali juga ke desanya. Beberapa unsur kehidupan kota akan terbawa serta, sehingga ada pula rekan-rekan warga desa yang meniru gaya kehidupan orang kota, proses demikian dinamakan urbanisme.



DAFTAR PUSTAKA

Sunarto, Kamanto
         2004                          Pengantar Sosiologi. Jakarta, Fakultas Ekonomi, UI, 2004
Soekanto, Soerjono      
         1990                          Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta, PT. RajaGrafindo Persad.
Sapary Imam Asy’ari,
        1993                           Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya, Usaha Nasional,

Ever, Hans Dieter              Sosiologi Perkotaan. Jakarta, LP3ES
       1985

Soedjito
      1987                             Aspek Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan. Yogyakarta, PT. Tiara

Koentjaraningrat,              
1985                            Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta, PT. Dian  Rakyat                        









[1] Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi. Jakarta, Fakultas Ekonomi, UI, 2004 : hlm. 131. 
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 1990: hlm. 125.
[3] Loc. Cit.
[4] Ibid. : hlm. 144.
[5] Ibid. : hlm. 156
[6] Ibid. : hlm. 162
[7] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta PT. Dian Rakyat, 1985 : hlm. 103.
[8] Soerjono Soekanto, op. cit. : hlm.168
[9] Koentjaraningrat, op cit : hlm. 120.
[10] Soedjito, Aspek Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan. Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Jogya, 1987 : hlm. 69
[11] Sapary Imam Asy’ari, Sosiologi Kota dan Desa, Surabaya, Usaha Nasional, 1993 : hlm.19.
[12] Hans Dieter Ever, Sosiologi Perkotaan, Jakarta, LP3ES 1985 : hlm. 91

0 comments